[caption id="attachment_341674" align="aligncenter" width="448" caption="Gambar: generusindonesia"][/caption]
Di tengah pro-kontra pidana mati, hingga sikap tak kenal kompromi Presiden Joko Widodo, menolak grasi sejumlah terpidana Narkoba, patut kita apresiasi bersama. Ini merupakan langkah preventif pemerintah dalam memotong sirkulasi peredaran zat adiktif, yang dapat merusakan generasi anak bangsa ke depan.
Lihat saja betapa besar efek dari peredaran Narkoba (Narkotika dan Obat Terlarang) hingga sekarang. Korbannya mulai dari anak-anak sekolah (SD, SMP, SMA) hingga Mahasiswa. Bahkan berita yang cukup menggemparkan dan menohok hati nurani kita, yakni berita seorang guru besar juga telah menjadi korban dari penyalahgunaan zat yang berbahaya tersebut. Padahal tak sepatutnya guru besar yang dijadikan sebagai tokoh panutan dan teladan, pada akhirnya melanggar nilai etik yang selama ini diajarkannya.
Pelihara Bandar
Terlepas dari masalah Narkoba yang terus ramai menjadi pemberitaan akhir-akhir ini. Saya kemudian menjadi pesimis terhadap kinerja kepolisian dalam pengungkapan kasus-kasus Narkoba tersebut. Rasa pesismis itu berawal dari diskusi dengan seorang teman yang berprofesi sebagai pengacara. Saya dikagetkan dengan pengakuan teman tersebut, saat menceritakan pengalamannya, menangani beberapa kasus Narkoba.
Pengakuan teman pengacara itu menyatakan "bahwa dari empat kasus Narkoba yang beliau tangani, kemudian dikumpulkan pula kasus teman-teman pengacara lainnya. Setiap ada pelaku yang tertangkap tangan oleh penyelidik (kepolisian). Hal yang paling berat untuk dibuktikan adalah siapa sesungguhnya pihak pelapor dari pelaku itu? Setiap saat ada kesaksian di pengadilan oleh pihak penyelidik sendiri, rata-rata saksi dari kalangan penyelidik mengatakan bahwa pihak pelapor adalah masyarakat."
Tentu jika pengacara yang masih "idealis" dalam menangani kasus Narkoba, pasti akan mempertanyakan; siapa sesungguhnya masyarakat yang dimaksud itu? Nah, di sini bagaimanapun hebatnya pengacara hendak mengetahui nama pelapornya, akan terhambat dengan ketentuan KUHAP, yang memang tegas menyatakan "kalau pihak pelapor mempunyai hak untuk disembunyikan identitasnya."
Cek percek berdasarkan pengakuan teman saya di atas, setelah dia menanya satu persatu klien yang ditangani kasusnya; bahwa berdasarkan pengakuan dari pelaku yang tertangkap, "kalau selama ini keterangan kepolisian (penyelidik) untuk menangkap pelaku pengguna Narkoba sumbernya dari pengedar dan bandar."
Tidak sampai di situ saja rasa ingin tahu saya, untuk memferivikasi kebenaran pengakuan teman-teman pengacara. Seorang teman yang pernah bertugas di bagian Kasat Narkoba akhirnya membenarkan pula, kalau memang selama ini dibagian team kepolisin tersebut, keterangan untuk menjerat para pemakai Narkoba selalu saja sumber informasinya berdasarkan petunjuk para Bandar.
Ditambah lagi data-data yang dapat dibuktikan melalui putusan-putusan pengadilan. Setiap kasus Narkoba yang penyelidiknya adalah kepolisian, selalu saja pelaku yang tertangkap adalah pemakai, bukan pengedar, apalagi bandar. Kalaupun ada tertangkap dari kalangan pengedar, biasanya pekerjaannya tukang bengkel, tukang becak, ibu rumah tangga. Padahal kalau mau ditelusuri, ironis rasanya jika pengedar hanya berprofesi sebagai tukang bengkel, sebab biasanya pengedar/apalagi bandar, mereka berasal dari kelompok-kelompok elit yang berduit dan simpanan deposit cukup berlimpah. Bandingkan pula misanya dengan kasus Narkoba yang ditangani oleh BNN (Badan Narkotika Nasional), para pelaku yang tertangkap rata-rata bandar-bandar besar Narkoba.
Pertanyaannya, kenapa pihak kepolisian tidak pernah mengutamakan pula untuk menangkap para pengedar dan bandar Narkoba? Lagi-lagi dengan pengakuan dari pihak kepolisian memberi alasan yang mengatakan: Pertama, sebagai sumber ATM berjalan kepolisian, karena sesusngguhnya dari para bandar diwajibkan memberikan setoran hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya ke ATM oknum polisi tersebut. Kedua, sebagai bahagian pemenuhan target kasus yang diburuh oleh polisi untuk menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat mereka.