Lihat ke Halaman Asli

Pasal Karet UU ITE Lagi Memakan Korban

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1419821146224868787

[caption id="attachment_343898" align="aligncenter" width="560" caption="Gambar tribunnews.com"][/caption]

Lagi-lagi pasal karet (hatzai artikelen) dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik)  menelan korban. Kali ini korbannya adalah Fadli Rahim, seorang Pegawai Negeri di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gowa,  Ia diduga telah melakukan delik pencemaran nama baik terhadap Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo.

Jika diperhatikan secara cermat dan teliti, terdapat enam poin utama dari tulisan Fadli  yang terposting di grup line IKA SALIS 99, kiranya mengandung konten pencemaran nama baik. Pertama, dikatakan Gowa tidak inovatif. Kedua, Bupati Gowa many oriented. Ketiga, Bupati Gowa memerintah berdasarkan warisan kekuasaan (Power legacy). Keempat, Bupati Gowa tidak ada kebaikannya (tena kebajikan). Kelima, ada banyak investor yang tidak jadi karena bupatinya tidak diberi bagian. Keenam, apapun selalu saja atas nama Bupati (sanging dia mami)

Sebenarnya, kasus yang mendera Fadli Rahim terdapat dua ruang lingkup hukum yang menyertainya. Yaitu kasus hukum administrasi negara dan kasus yang berada dalam ranah hukum pidana.

Untuk kasus hukum administrasinya adalah penurunan pangkat atas dirinya (dari golongan III B ke golongan III A) dan mutasi atas  Ibunya, yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di Kabupaten itu, karena SK (Surat Keputusan) yang telah diterbitkan oleh Bupati Gowa.

Terhadap SK  tersebut, dalam kacamata hukum administrasi negara sudah pasti merugikan Fadli dan Ibunya. Sehingga  ruang untuk menggugatnya agar SK tersebut dibatalkan adalah PTUN. Cuma saja berdasarkan UU PTUN, peluang Fadli untuk menggugat SK Bupati, agar dibatalkan/ dicabut kembali oleh Bupati sebagai pejabat eksekutif sudah tertutup. Sebab masa daluarsa mengajukan gugatan atas keputusan/ketetapan (beschikking) pejabat eksekutif yang merugikan individu berada dalam batas waktu 90 hari sejak diterima/diketahui oleh yang bersangkutan.  Oleh karena SK yang merugikan Fadli dan ibunya sudah lewat 90 hari, Itu artinya Ia tidak dapat mempermasalahkan lagi SK tersebut.

Sedangkan untuk kasus hukum pidananya, adalah delik pencemaran nama baik yang saat ini telah memasuki tahap persidangan.

In casu a quo bagaimana sesungguhnya tafsir hukum pidana dalam UU ITE yang menjerat Fadli terhadap perbuatannya yang telah disangka melakukan  pencemaran nama baik terhadap Bupati Gowa?

Tafsir Sistematis

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-VI/2008 atas judicial review Pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Pasal 27 ayat 3 UU ITE mengalami pembatasan dalam klasifikasinya; sebagai delik aduan (Klacht Delicten). Meskipun pengklasifikasian ini terkesan tidak "logic". Sebab dalam KUHP, tidak semua jenis delik penghinaan diklasifikasikan sebagai  delik aduan. Dapat dicermati misalnya jika delik penghinaan tersebut, objek yang terhina adalah pegawai negeri, maka deliknya tergolong sebagai delik umum.

Konsekuensi hukum dari putusan MK tersebut, menyebabkan terhadap siapapun, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun pegawai negeri, jika merasa ada  yang "mencemarkan" nama baiknya. Yang telah dilakukan melalui ITE harus terlebih dahulu mengadukan atas perbuatan pencemaran itu ke pihak penyelidik, agar dapat diproses secara hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline