Lihat ke Halaman Asli

Awas !!! Silence Tsunami Lebih Berbahaya dari Tsunami

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="272" caption="Monster hurricane fueled by global warmed ocean waters."][/caption] SuryaGlobana Slamet Indonesia berada di urutan ketiga negara paling polutif di dunia, setelah AS dan China. Sekitar 85% emisi tahunan GRK Indonesia berasal dari sektor kehutanan, terutama akibat penebangan liar, pembersihan lahan, konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, kebakaran hutan dan Industrialisasi.

Laporan setebal lebih dari 1.500 halaman yang ditulis oleh lebih dari 440 pakar ternama dunia yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change yang diumumkan pada April 2007 menyebutkan bahwa sejak tahun 1900 rata-rata suhu bumi telah naik 0,7 derajat Celsius. Kemudian IPCC dalam sebuah laporannya juga memprediksi peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.Penyebab utamanya, adalah aktivitas ekonomi dan industri yang telah melepaskan gas emisi karbon ke atmosfer, terutama dalam 50 tahun terakhir. Bahkan, jika laju emisi karbon stabil pada tingkat saat ini, suhu permukaan bumi masih akan naik 2-5 derajat Celsius sampai mencapai keseimbangan. Apalagi, jika laju emisi terus meningkat sebagaimana saat ini, suhu Bumi akan meningkat 3-10 derajat Celsius, belum termasuk dampak balik ganda yang ditimbulkannya, yang pasti jauh lebih buruk.Menurut laporan dari World Resources Institute, Indonesia bahkan berada di urutan paling atas penghasil emisi dari kegiatan konversi penggunaan lahan.Temuan lain yang di rilis oleh tidak kurang dari 2000 ilmuwan, mengajukan sejumlah pandangan mengenai realitas sekarang ini:

  • Bencana-bencana alam yang lebih sering dan dahsyat seperti gempa bumi, tsunami, banjir, angin topan, siklon dan kekeringan akan terus terjadi. Bencana badai besar terjadi empat kali lebih besar sejak tahun 1960.
  • Suhu global meningkat sekitar 5 derajat C (10 derajat F) sampai abad berikut, tetapi di sejumlah tempat dapat lebih tinggi dari itu. Permukaan es di kutub utara makin tipis.
  • Penggundulan hutan, yang melepaskan karbon dari pohon-pohon, juga menghilangkan kemampuan untuk menyerap karbon. 20% emisi karbon disebabkan oleh tindakan manusia dan memacu perubahan iklim.
  • Sejak Perang Dunia II jumlah kendaraan motor di dunia bertambah dari 40 juta menjadi 680 juta (data per 2002); kendaraan motor termasuk merupakan produk manusia yang menyebabkan adanya emisi carbon dioksida pada atmosfer.
  • Selama 50 tahun kita telah menggunakan sekurang-kurangnya setengah dari sumber energy yang tidak dapat dipulihkan dan telah merusak 50% dari hutan dunia.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua.

Kenaikan permukaan laut yang membawa dampak luas bagi manusia; terutama bagi penduduk yang tinggal di dataran rendah, di daerah pantai yang padat penduduk di banyak negara dan di delta-delta sungai. Negara-negara miskin akan dilanda kekeringan dan banjir. Salah satu perkiraan adalah bahwa sekitar tahun 2020 penduduk dunia terancam bahaya kekeringan dan banjir. Negara-negara miskin akan menderita luar biasa akibat perubahan iklim – sebagian karena letak geografisnya dan juga karena kekurangan sumber alam untuk penyesuaian dengan perubahan dan melawan dampaknya.

Manusia dan spesies lainnya di planet sudah menderita akibat perubahan iklim. Proyeksi ilmiah menunjukkan adanya peluasan dan peningkatan penderitaan, misalnya, tekanan panas, bertambah dan berkembangnya serangga yang menyebabkan penyakit tropis baik di utara maupun selatan katulistiwa. Juga adanya rawan pangan yang makin meningkat.

Laporan yang mengerikan juga disampaikan oleh ilmuwan antariksa AS, NASA, bahwa sejak tahun 2004 setidaknya sudah 42 persen es di kutub utara semakin menipis dan mencair di setiap musim panasnya. Laporan yang dikirim pesawat antariksa ICESat yang digunakan NASA, para ilmuwan menggambarkan, secara keseluruhan es Laut Kutub Utara menipis sebanyak 7 inci (17.78 centimeter) per tahun sejak tahun 2004, sebanyak 2,2 kaki (0,67meter)  selama   empat musim dingin.

Menurut laporan Journal of Geophysical Research- Ocean, tanpa lapisan es, perairan gelap Laut Kutub Utara lebih mudah menyerap panas sinar Matahari dan bukan memantulkannya sebagaimana terjadi pada es yang berwarna cerah, sehingga mempercepat Dampak Pemanasan Global. Dampak lain adalah potensi terlepasnya gas metana beku yang ada di dasar laut sebanyak 400 milyar ton akan menjadikan Pemanasan Global semakin tidak terkendali.

Bagaimana dengan Lapisan Es di Kutub Selatan ? Beberapa ilmuwan Selandia Baru telah memperingatkan bahwa Kutub Selatan mencair lebih cepat dari perkiraan.   Profesor Peter Barrett dari Antarctic Research Center, Victoria University mengatakan, “jumlah es yang hilang mencapai 75 persen sejak tahun 1996. “Hilangnya es global dari Greenland, Antartika dan Gletser lain menunjukkan permukaan air laut akan naik antara 80 centimeter dan 2 meter sampai tahun 2100”, kata Barrett.

Pada tahun 2008 Mark Lynas memprediksi kondisi yang lebih ekstrim jika kenaikan suhu Bumi lebih dari 2,7 derajat Celcius pencairan es akan menaikkan level air laut hingga 6 meter.

Studi terbaru yang dimuat di Journal of Climate American Meteorogical Society’s melaporkan bahwa: “Temperatur rata-rata permukaan naik 9,3 derajat Fahrenheit (5,2 derajat Celcius) sampai 2100″.

Pemanasan glonal digambarkan sebagai Silence Tsunami dan bencana yang paling mahal harganya. Biaya tahunan untuk menangkal pemanasan global dapat mencapai 300 miliar dollar. 50 tahun ke depan, jika tidak diambil tidakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika pemimpin politik kita dan pembuat kebijaksanaan politik tidak bertindak cepat, kehidupan manusia dan dunia ekonomi akan menderita kemunduran serius.

Siapa yang paling bertanggungjawab, menurut Kelompok Kerja Pemanasan Global dari Para Promotor KPKC, Roma; disebabkan oleh konsumsi berlebihan, bukan oleh 80% penduduk miskin di 2/3 belahan bumi, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi 86% dari seluruh sumber alam dunia.

Sepanjang seratus tahun ini, konsumsi energi dunia bertambah secara spektakuler. Sekitar 70% energi dipakai oleh negara-negara maju, dan 78% dari energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras habis dan yang lainnya mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk pemanfaatan energy yang tak dapat habis (matahari, angin, biogas, air, khususnya hidro mini dan makro), yang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, baik di negara maju maupun miskin tetaplah rendah, dalam perbandingan dengan bantuan keuangan dan investasi yang dialokasikan untuk bahan bakar fosil dan energi nuklir.

Video on the effects of global warming on St. Lawrence Island in the Bering Sea

Catatan:

Jika Anda mau share artikel, jurnal dan berita silahkan kirim "Fiends Posts Compasiana" atau email:

bukuclickbook@gmail.com atau suryanaslamet@gmail.com

My Blog BookClick BukuClick

Tarima Kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline