Sudah lebih dari setahun pandemic virus corona melanda berbagai negara di dunia. Seluruh negara cukup kewalahan menghadapi musuh yang tak kasat mata ini. Tak terkecuali Indonesia, sejak pertama kali ditemukan kasus pada Maret 2020 hingga saat ini kasus positif covid-19 di Indonesia masih tinggi. Berbagai sektor yang terdampak pandemic mulai dari sektor transportasi, kesehatan, pariwisata, pendidikan, sosial budaya, hingga sektor ekonomi yang berdampak paling buruk.
Berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah diterapkan guna memulihkan sektor-sektor yang terdampak akibat pandemic covid-19. Salah-satunya yakni kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat(PPKM) yang bertujuan untuk membatasi interaksi dan kegiatan masyarakat yang diharapkan dapat mencegah penyebaran virus covid-19.
Namun di satu sisi kebijakan PPKM juga berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. PPKM berimbas pada tingginya angka PHK akibat dari perusahaan yang tidak mampu lagi untuk meneruskan bisnisnya, sedangkan sektor UMKM yang paling terdampak yakni pada usaha makanan dan minuman yang diakibatkan penurunan mobilitas masyarakat diakibatkan pembatasan kegiatan masyarakat.
Untuk mengatasi masalah finansial, masyarakat cenderung memilih pinjaman online (fintech lending) dibanding Kredit Usaha Rakyat dikarenakan pinjaman online atau biasa disebut pinjol dalam pengaksesannya dinilai mudah dan cepat, sedangkan Kredit Usaha Rakyat memiliki berbagai syarat kompleks yang harus dipenuhi agar dana pinjaman dapat cair. Tentunya hal ini merupakan tren baru yang terjadi di masyarakat dewasa ini. Dahulu masyarakat harus mendatangi lembaga-lembaga peminjam uang. Namun, kini masyarakat dapat meminjam uang tanpa harus ribet hanya melalui aplikasi di smartphone.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan akumulasi pinjaman online senilai Rp 146,25 triliun per November 2020. Adapun nilai ini tumbuh 96,19 persen dibandingkan November 2019 senilai Rp 74,54 triliun.
Berdasarkan keterangan resmi OJK, Rabu (6/1) pengguna fintech lending meningkat seiring jumlah peminjam atau borrower maupun pemberi pinjaman atau lender di tengah pandemi. Akumulasi rekening borrower tumbuh 136,33 persen menjadi 40,75 juta entitas, sebanyak 67,35 persen merupakan kaum milenial.
"Fintech P2P lending per November 2020 mencatatkan outstanding pembiayaan sebesar Rp 14,10 triliun atau tumbuh 15,7 persen dari Rp 12,18 triliun per November 2019," seperti dikutip publikasi OJK.
Sedangkan akumulasi rekening lender naik 19,26 persen menjadi Rp 705.643 entitas hingga sebelas bulan pertama 2020. Pemberi pinjaman juga didominasi kaum milenial yang menyumbang sebanyak 66,30 persen. Per November 2020, terdapat 153 penyelenggara fintech lending yang terdaftar OJK, sebanyak 36 diantaranya telah mengantongi izin usaha penuh dari regulator. Sedangkan 10 dari penyelenggara menjalankan bisnis dengan prinsip syariah.
Sementara Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memperkirakan pada tahun depan pinjaman fintech lending mencapai Rp 86 triliun.
"Ternyata memang cepat sekali adaptasi dari machine learning atau credit scoring, sehingga kesiapan tumbuh kembali itu sudah terlihat pada Oktober 2020," ujar Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah kepada wartawan, Rabu (6/1).
Sebenarnya pada 2020, AFPI memproyeksi pinjaman fintech lending mencapai nilai Rp 86 triliun. Namun pandemi memberikan dampak pada perekonomian, sehingga asosiasi merevisi proyeksi menjadi Rp 60 triliun.