Lihat ke Halaman Asli

David Edison

Guru dan Public Speaker

Pemikiran Gus Dur Tentang Relasi Islam Indonesia dan Negara

Diperbarui: 19 Desember 2019   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

KULIAH ALAM PIKIRAN INDONESIA  STF DRIYARKARA

David Edison, S.S

Adrianus A. Mbangga, S.S

Fr. Nopparut Ruankool, S.J

Pater Robertus K.A. Bijaksana, CICM

Fr. Sarayuth Konsupap Zaw Goan, S.J 

A. PENGANTAR

          Di Indonesia, kehidupan keagamaan dicirikan dengan adanya ritual-ritual, departemen dan organisasi-organisasi keagamaan, gedung-gedung ibadah, dan tanda lahiriah lain seperti poster dan spanduk bertuliskan sesuatu yang berhubungan dengan agama tertentu yang dipasang di jalan raya dan kendaraan. 

              Tidak jarang terjadi bahwa penerimaan seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh identitas agama, selain juga oleh ikatan primordial lain seperti suku dan ras. Dalam konflik pun, seringkali para tokoh agama dilibatkan untuk menemukan solusi yang tepat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat Indonesia, agama menduduki suatu peran yang cukup signifikan.  

              Dalam melihat realitas itu, kita dapat menyatakan bahwa ada orang-orang Indonesia yang menjadikan agama sebagai pedoman dan inspirasi hidup mereka. Dengan pernyataan itu, kita dituntun kepada suatu kesadaran bahwa pastilah pemahaman akan agama turut mempengaruhi orang-orang itu. 

                 Tokoh yang dibahas dalam tulisan ini adalah salah satu dari mereka itu. Beliau adalah Abdurahman Wahid, yang sering disapa Gus Dur. Tokoh ini dikenal luas baik oleh masyarakat Indonesia maupun internasional karena sikap, tindakan, dan pandangan-pandangannya yang kritis dan bijaksana. 

      Sebagai seorang Muslim yang taat, Gus Dur mengabdikan hidupnya bagi Islam lewat keterlibatannya dalam organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Pemahaman keislamannya mendorongnya untuk melampaui ikatan primordial agama menuju suatu keterbukaan terhadap dunia. Gus Dur menampilkan pemikiran-pemikiran kritis tentang kehidupan berbangsa, demokrasi, dan juga terhadap agama-agama termasuk agamanya sendiri. 

      Tulisan ini merupakan suatu usaha sederhana untuk menampilkan  beberapa pemikiran Gus Dur. Pemikiran-pemikiran itu erat kaitannya dengan pemahaman keislamannya. Bagaimanapun juga, pemahaman-pemahaman itu telah mempengaruhi cara Gus Dur bertindak. Oleh karena itu, judul di atas bermaksud mengarahkan pembaca untuk mengenal pemahaman keislaman Gus Dur dan impikasi konseptual dari pemahaman-pemahaman itu. 

 

B. KONTEKS PEMIKIRAN

1. Seputar Tokoh 

Abdurrahman Wahid lahir pada 4 Sya’ban 1940 menurut kalender Islam atau 7 September 1940.[1] Ia adalah anak pertama dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Ayah Gus Dur, Kiai Wahid Hasyim adalah seorang nasionalis yang diangkat menjadi menteri agama dalam lima kabinet pertama.[2] 

Sejak kecil, Gus Dur sudah diperkenalkan dengan cara hidup pesantren di Pesantren Tebuireng, sebuah pesantren yang dibangun oleh Kiai Hasyim Asy’ari, kakeknya.[3] Dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur menjalani pendidikan di berbagai pesantren lain. Dalam studinya di pesantren, Gus Dur tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari Islam tradisionalis.

Ketika ayahnya menjadi menteri agama, Gus Dur pindah ke Jakarta. Di Jakarta, Gus Dur mengenal banyak orang dari berbagai kalangan dan mulai mengenal musik klasik Eropa. Di Jakarta, ia masuk Sekolah Dasar. Akan tetapi, Gus Dur tidak menyelesaikan pendidikan lanjutnya (SMP) karena gagal ujian naik kelas dua. Ia pun pindah ke Jogyakarta dan tinggal di rumah Kiai Junaidi, yang adalah anggota Dewan Penasihat Agung Agama (Majelis Tarjih) Muhammadiyah. Di Yogyakarta, ia mulai menyukai film, menonton pertunjukkan wayang kulit, membaca cerita novel-novel Cina, membaca surat-surat kabar, membaca cerita-cerita perang dunia II, menaruh minat pada politik Amerika dan biografi presiden-preiden Amerika Serikat. Ketika berpindah ke Magelang, ia mulai membaca teori sosial para pemikir Eropa, bahkan menaruh minat pada pikiran kaum Marxis.[4] 

 Ciri cinta akan ide-ide baru ini membuat Gus Dur sampai pada pergulatan untuk menemukan identitas agamanya. Gus Dur senantiasa berusaha untuk menemukan dalam Islam jawaban bagi masalah-masalah ketidakkadilan, kemiskinan, dan penindasan. Oleh karena itu, ia membaca karya para intelektual Islam termasuk ide-ide di balik organisasi Ikhwanul Muslimin.[5]

Pada November 1963, Gus Dur berangkat ke Kairo dan masuk di universitas Al-Azhar. Di sana, ia dapat dengan lebih mudah menonton film-film Prancis, Inggris, dan Amerika. Ia menjelajahi perpustakaan-perpustakan besar, dan buku yang menurutnya berharga adalah buku-buku karya Marx dan Lenin. Pada tahun-tahun ini, Gus Dur merasa tertekan karena berbagai hal terkait dengan Gerakan 30 September di Indonesia. Ia prihatin dengan banyaknya orang tak bersalah yang dibunuh. Gus Dur merasa sedih karena orang-orang Indonesia tidak cukup dewasa untuk meninggalkan primordialisme dan rasa benar sendiri yang tidak sehat.[6]

Gus Dur juga mulai mempertanyakan hubungan Islam dan negara. Terhadap karya-karya pemikir Islam tertentu, ia merasa bahwa pemikiran mereka ekstrim dan naif, termasuk karya Hasan al-Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin dengan panji “Kembali ke Al-Quran dan Hadits untuk menyembuhkan penyakit masyarakat”. Hal yang tidak disukai Gus Dur adalah kurangnya keterbukaan para pemikir itu akan kebenaran yang berasal dari sumber lain. Sikap Gus Dur itu tidak terlepas dari pengaruh ayah Gus Dur yang pluralis dan ibunya yang terus menciptakan suasana terbuka kepada masyarakat. Oleh karena itu, Gus Dur tumbuh dalam keyakinan bahwa Al-Quran dan Hadits merupakan kebenaran akhir Umat Islam, namun juga terdapat banyak kebenaran lain.[7]

Setelah tidak lulus di Al-Azhar, Gus Dur mendapat beasiswa dari Universitas Baghdad. Di Baghdad, Gus Dur menjalani studinya dengan tekun. Salah satu hal yang menarik adalah bahwa Gus Dur berteman dengan Ramin, seorang Yahudi. Mereka berdiskusi mengenai hal-hal seputar keyahudian.  Dari Ramin, Gus Dur mengenal Yudaisme dan pengalaman orang-orang Yahudi Diaspora. Gus Dur mulai memahami pandangan agama Yahudi dan pengalaman buruk mereka sebagai minoritas di wilayah diaspora.[8] 

Setelah selesai studi di Baghdad, Gus Dur tinggal di Belanda dan mencoba melakukan studi pascasarjana di Universitas Leiden. Akan tetapi hal itu tidak terealisasi karena studinya di Universitas Baghdag tidak diakui dan mengharuskannya mengambil ulang program sarjana.[9] 

Pada 4 Mei 1971, Gus Dur pulang ke Indonesia. Ia memulai berkenalan dengan pemikir-pemikir Islam yang berniat membaharui pemikiran Islam. Selain itu, peran Gus Dur terlihat mencolok dalam Munas NU di Situbondo, yang mana ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU. Dua keputusan penting dalam munas itu adalah pertama, pejabat NU tidak lagi merangkap jabatan politik. Kedua, pancasila diterima NU sebagai asas tunggal.[10] 

 

2. Konteks Pemikiran

 Ada hal-hal yang mempengaruhi Gus Dur dalam pemikirannya. Satu hal yang paling tampak adalah pemahaman keislamannya. Selain itu, pengalaman perjumpaan dengan orang-orang lain juga pasti memperkaya sudut pandangnya. Akan tetapi, konteks pemikiran Gus Dur  tak terlepas dari suatu kenyataan sosial masyarakat Indonesia. Ada tiga hal: 

a.  Perdebatan tentang perlunya memasukkan Islam dalam kontitusi telah terjadi sejak awal kemerdekaan Indonesia. Kenyataan bahwa pancasila diterima sebagai dasar negara tidak meniadakan keinginan orang-orang tertentu untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Meskipun tidak menampakkan diri dalam cara yang terang-terangan, wacana untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara tetaplah suatu wacana yang ramai diperbincangkan.

b. Sebagai negara demokratis, Indonesia perlu merumuskan suatu relasi yang jelas antara sistem demokrasi dengan keberadaan agama-agama. Hal ini terjadi karena sebagai negara yang bukan negara agama dan bukan negara sekular, masyarakat Indonesia berada di antara dua konsep yang membentuk keindonesiaan. Oleh karena itu, sebagaimana demokrasi memberi ruang pada agama, agamapun harus menemukan peran yang tepat dalam sistem demokrasi.

c. Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah adanya budaya-budaya lokal. Tak jarang masuk-masuknya agama-agama non lokal telah menimbulkan suatu pertanyaan akan eksistensi budaya-budaya itu dalam agama. Hal mengeni penerimaan budaya tertentu atau penolakan budaya lainnya tentu perlu memiliki dasar yang jelas. Selain itu, perkembangan sains telah membentuk kebudayaan manusia yang baru. Terhadap hal itu agama tentu perlu menyatakan posisinya sebab bagaimanapun juga orang-orang beragama pasti ikut dalam perkembangan kebudayaan itu.   

 

Ketiga konteks di atas mengantar kita kepada beberapa pokok pemikiran Gus Dur. Pemikiran-pemikiran itu tidak terlepas dari pemahaman Gus Dur akan Islam. 

 

C. POKOK-POKOK PEMIKIRAN

1. Sistem Islami tidak diperlukan di Indonesia

        Pemikiran ini merupakan sebuah kesimpulan dari perdebatan tentang perlu tidaknya sebuah sistem Islam. Gus Dur mengangkat hal mendasar yaitu bahwa berkaitan dengan perlu tidaknya sebuah sistem Islami, terjadi perbedaan penafsiran terhadap ayat al-Quran yang berbunyi: “Masukilah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulu fi al-silmi kaffah)” (QS al-Baqarah {2}: 208). Menurut Gus Dur, orang-orang yang menyukai formalisasi menerjemahkan kata “al-silmi” menjadi “Islam” maka menuntut ada sistem Islami yang dapat mewakili aspirasi kaum Muslimin seluruhnya. Sedangkan orang-orang lain menerjemahkan kata itu menjadi “kedamaian” sehingga mereka tidak melihat  perlunya hal itu  dijabarkan dalam sebuah sistem tertentu termasuk sistem Islami.[11]

    Akan tetapi, menurut Gus Dur adanya sistem Islami menjadikan umat yang bukan beragama Islam menjadi warga dunia kelas dua. Selain itu juga berpengaruh pada orang-orang Islam yang dianggap kurang kualitas keislamannya dibandingkan dengan mereka yang menjalankan ajaran Islam secara penuh atau Muslim santri.[12] Padahal dalam AL-Quran terdapat ayat  “Tiadalah Ku-utus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia (wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamin)” (QS al-Anbiya {21}: 107).[13] 

Oleh karena itu, Gus Dur memandang perlunya perhatian terhadap  ayat lain dalam Al-Quran. Ayat yang dapat diambil misalnya “Tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu” (QS al-Baqarah {2}: 256) dan “Bagi kalian agama kalian dan bagi-Ku agama-Ku (lakum dinukum wa liyadin)” (QS al-Kafirun {109}:6).[14] Ayat-ayat ini dapat membantu menentukan suatu penafsiran yang lebih terbuka atas ayat yang lain. 

Selain itu, Gus Dur melihat bahwa  sistem Islam bukan suatu kewajiban karena dalam Al-Quran juga terdapat kategori-kategori  Muslim yang baik yang dapat dijalankan tanpa adanya sistem Islam.  Kategori itu antara lain: menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan rukun Islam secara utuh, menolong mereka yang membutuhkan bantuan, menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan.[15]    

Gus Dur menulis,

“Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara. Ini penting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pihak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang-Undang Dasar) kita.”[16]

 

Bagi Gus Dur, untuk mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia yang majemuk ini, memang dibutuhkan konsep yang jelas mengenai hubungan agama dengan negara. Akan tetapi, keinginan akan suatu sistem agama tertentu jelas sesuatu yang kontraproduktif. Mungkin sekali bahwa sebenarnya yang diinginkan adalah seimbangnya  kekuasaan pusat dengan daerah dalam hal pemilihan kepala daerah oleh wakil rakyat di daerah dan penetapan anggaran penerimaan dan belanja yang berpusat di daerah.[17] 

Menurut Gus Dur , dalam kehidupan bernegara,  Islam mesti menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam. Di sini formalisasi bukanlah yang perlu diperlihatkan tetapi Islam harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan.[18] Kontrol terhadap pemerintah dapat dilakukan organisasi non-politik seperti NU dengan pendekatan kultural yang mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Organisasi politik dapat melakukannya dengan penekanan pada penciptaan politik yang bersih. Dua hal itu dapat menegakkan demokratisasi di Indonesia.[19]

Oleh karena itu menurut Gus Dur,  Al-Quran hendaknya jangan dipahami sebagai dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap. Hal ini perlu disadari agar gerakan-gerakan Islam tidak memanfaatkan politik sebagai sarana mencapai kekuasaan melainkan kepentingan rakyat kebanyakan atau kelas bawah. Ayat Al-Quran mengatakan, “Apa yang diberikan Allah kepada utusan-Nya sebagai pungutan fai’ dari kaum non-Muslim, hanya bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian” (QS al-Hasyr [59]:7)[20]

  

2. Transformasi agama sebagai syarat partisipasi dalam Demokrasi


             Menurut Gus Dur, hambatan proses demokratisasi di kalangan lembaga dan kelompok keagamaan salah satunya disebabkan 

oleh perbedaan nilai-nilai dasar agama dengan demokrasi.[21] 

            Menurutnya, demokrasi memberi peluang bagi perubahan nilai oleh masyarakat sehingga berpotensi mengancam nilai-nilai abadi yang terkandung dalam agama. Contohnya, berpindah agama ke agama lain dalam hukum Islam berarti penolakan kepada kebenaran konsep Allah karenanya tidak dapat dibenarkan dan pelakunya diancam hukuman mati. Hal itu berbeda dengan konsep demokrasi bahwa individu dalam masyarakat mempunyai hak untuk memilih keyakinannya sehingga ia mempunyai hak untuk berpindah agama.[22]  Mengenai konsep persamaan, demokrasi mengakui kesamaan derajat dan kedudukan semua warga Negara di muka undang-undang. Sedangkan agama lebih cenderung untuk mencari perbedaan, misalnya perbedaan agama dan keyakinan.[23] 

Dengan memperhatikan hal-hal itu, Gus Dur berpendapat bahwa  agama perlu melakukan transformasi. Agama harus merumuskan kembali pandangannya tentang martabat manusia dan kesamaannya di hadapan hukum. Agama juga mesti bekerja sama dengan agama lain untuk mencapai nilai-nilai universal. Nilai-nilai itu diungkapkan dengan pelayanan konkret kepada masyarakat tanpa pandang bulu, misalnya melalui penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakan pendapat. Transformasi inilah sumbangan agama bagi proses demokratisasi.[24]

Lalu bagaimana dengan demokrasi? Menurut Gus Dur demokrasi mempunyai nilai positif karena menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang menolak pengagamaan negara sekaligus memberi ruang pada agama, Islam misalnya.[25]  

 Selain itu, menurut Gus Dur, meski Piagam Jakarta telah dihapuskan dari UUD 1945, tampak bahwa Islam belum secara maksimal menjadi pendorong tegaknya demokrasi.[26] Hal disebabkan karena semangat sektarianisme mudah muncul. Isu-isu seperti pribumi dan non pribumi, Kristenisasi merupakan contoh-contoh nyata gejala sektarian, yang mengancam pluralitas Indonesia.[27]  

 

3. Pengagungan nilai kemanusiaan sebagai titik temu agama dan Kebudayaan

 

Menurut Gus Dur, dalam hubungan agama dengan kebudayaan terdapat ambivalensi. Pada satu sisi,  agama-agama menggunakan unsur-unsur budaya dalam upacara keagamaannya. Misalnya, penggunaan karya seni dan refleksi filosofis dalam teologi.  Hal ini memperlihatkan adanya ruang bagi kebudayaan dalam agama.[28]

Di sisi lain, menurut Gus Dur, ada relasi yang tak padu di antara keduanya. Contoh kasus adalah pelemparan batu kepada seorang yang tertangkap berzinah. Dalam kasus itu, agama terlihat kejam terhadap manusia. Selain itu, tampak juga bahwa norma agama tidak mampu membuat orang berkembang dalam kebudayaan. Sebab semestinya orang yang berzinah adalah orang yang tak beradab tetapi ternyata orang-orang yang melempar batu itu tidak lebih beradab karena mereka melakukan pembunuhan.[29] 

Menurut Gus Dur, agama memang mempunyai sistemnya sendiri yang kurang mengakomodasi kebudayaan. Misalnya, Islam adalah agama hukum. Aturan yang sudah dibuat oleh agama memegang supremasi tertinggi. Orang-orang yang melanggarnya akan mendapat hukuman. Sebagai contoh, di Indonesia, Syekh Siti Jenar dihukum mati para Wali Songo karena menyimpang dari agama.[30] Agama juga menekankan keabadian norma-norma agama dan perlunya norma-norma itu ditegakkan dalam masyarakat. Untuk itu harus ada undang-undang yang memaksa masyarakat untuk tunduk.[31]

Akan tetapi ciri keabadian itu tidak sesuai dengan kebudayaan. Dalam kebudayaan terdapat ciri dinamis. Ada perkembangan dan perubahan dalam cara pandang dan pendekatan. Hal itu dikarenakan bahwa kebudayaan adalah hasil perkembangan cara hidup manusia.[32]

Oleh karena itu, menurut Gus Dur, perlulah hubungan keduanya dijembatani. Hal yang terpenting bagi Islam adalah bagaimana membuat ukuran-ukuran yang dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Unsur mendasar yang harus ada adalah pengutamaan hal-hal yang mengagungkan nilai kemanusiaan seperti pemeliharaan hak-hak asasi manusia dan pengembangan struktur masyarakat Muslim yang adil.[33] Unsur mendasar itu dapat dijadikan sebagai penyaring baik bagi ajaran agama maupun bagi perkembangan kebudayaan tertentu.[34] 

 

 D. KAITAN DENGAN TEORI LOMBARD DAN  NASIONALISME HERRY-PRIYONO

           a. Dennis Lombard 

 Lombard mengatakan bahwa perjalanan Islam di Indonesia mengalami polarisasi antara fanatisme dan toleransi. Ada kelompok yang terbuka terhadap nilai-nilai kebudayaan dan ada yang tidak. Demikian juga dengan keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Ada yang setuju dan ada yang tidak.

Pendapat Lombard ini menampilkan kenyataan yang serupa yang ditanggapi dalam  pemikiran Gus Dur.  Gus Dur  melihat bahwa ada kelompok yang berpendapat Islam seharusnya tidak menampilkan diri dalam bentuk eksklusif, tidak perlu menampilkan warna keislamannya melainkan mengintegrasi kegiatannya dalam kegiatan bangsa seluruhnya. Kelompok ini ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.  Sedangkan kelompok lain menginginkan diwujudkannya ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam prananta bernegara. Kelompok ini lebih mementingkan substansi ajaran Islam.[35]   


b. Herry-Priyono

 Dalam  pemikiran  Rm. B. Herry-Priyono, SJ,   nasionalisme Indonesia para periode perjuangan kemerdekaan merupakan suatu gerakan untuk merebut kekuasaan pusat dari tangan kolonial. Nasionalisme itu diperjuangkan oleh para pemikir Indonesia dan orang-orang yang termotivasi oleh gambaran kesatuan di bawah kerajaan Majapahit, kepahlawanan para pejuang daerah menentang penjajah seperti yang dilakukan oleh pangeran Diponegoro, keyakinan bahwa bahwa pembebasan itu telah tiba seperti dalam mitos Joyoboyo di Jawa, dan gambaran-gambaran kesatriaan dalam wayang. [36]  Dari sudut pandang teori itu, nasionalisme Gus Dur dapat dipahami sebagai sebuah usaha untuk mempertahankan keindonesiaan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945  dari niat orang-orang yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.   

 

E. PENUTUP

a. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa poin  penting. Pertama, Gus Dur memandang Islam sebagai penggerak, sumber insprirasi bagi kehidupan bernegara. Oleh karena itu terhadap keinginan sekelompok orang yang menghendaki berdirinya negara Islam di Indonesia, Gus Dur berpendapat bahwa hal itu tidak diperlukan karena nilai-nilai Islam dapat terealisasi di Indonesia tanpa keharusan  akan suatu sistem Islami. Kedua, Gus Dur berpendapat bahwa agama mesti menemukan perannya dalam demokrasi. Peran itu diwujudkan dengan mengupayakan transformasi yang mengutamakan kesamaan harkat dan martabat manusia baik dalam masyarakat maupun negara. Ketiga, Gus Dur juga menekankan penghormatan nilai kemanusiaan dalam relasi agama dengan kebudayaan. 

 

b. Tanggapan Kelompok

       Kelompok berpendapat bahwa, pertama, pemikiran Gus Dur relevan dengan keindonesiaan. Bagaimanapun juga, persatuan Indonesia hanya akan terjaga sejauh Pancasila dan UUD 1945 tetap dijadikan dasar negara. Kedua, pemikiran Gus Dur telah membawa perubahan besar dalam transformasi Islam. Salah satu contohnya adalah keterbukaan untuk mempelajari pendidikan non agama di pesantren-pesantren. Ketiga, Gus Dur mampu menunjukkan unsur-unsur yang menjembatani agama dengan demokrasi dan kebudayaan. Hal ini penting karena negara Indonesia adalah negara demokratis yang warganya memiliki budaya dan agama beragam. 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Barton, Greg, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKIS, 2002

Herry-Priyono, B. The Dutch Colonial State and the Rise of Nationalist Movement in Indonesia. London, 1996

Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita. Agama Masyarakat Negara Demokrasi.  Jakarta: The Wahid Institute, 2006

Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline