Pengantar
Dalam bukunya Wayang dan Panggilan Manusia, Pastor Magnis-Suseno menguraikan etika Jawa. Tulisan itu tidak secara total menggambarkan bahwa demikianlah nyatanya orang Jawa. Hal itu lebih digambarkan sebagai kerangka acuan Jawa yang bersifat streotip, yang berarti di satu pihak: orang Jawa nyata tidak dapat dipahami secara memadai dari kerangka acuan itu, dan di sisi lain kerangka itu menjadi acuan pergulatan bagi banyak orang Jawa.
Etika keselarasan
Etika Jawa yang dibicarakan Magnis-Suseno adalah etika keselarasan. Streotip dari etika Jawa ini adalah bahwa orang Jawa pada hakikatnya mencari keselarasan. Nilai tertinggi dalam kehidupan orang Jawa adalah keselarasan, yang mana masyarakat berada dalam keadaan rukun dan tentram, karena setiap orang mempunyai tempat kedudukan yang tepat dan saling memperhatikan.
a.Keselarasan sebagai nilai dasar
Masyarakat Jawa mengajukan dua tuntutan dasar bagi anggotanya, yaitu agar setiap orang diakui dan dihormati sesuai dengan kedudukannya, dan agar semua orang selalu membawa secara rukun. Tuntutan agar setiap orang diakui sesuai dengan kedudukannya berangkat dari anggapan bahwa masyarakat tersusun secara hirarkis. Ketersusunan yang hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, setiap orang wajib mempertahankannya dan membawa diri sesuai dengannya sehingga seluruh masyarkat menjadi kesatuan yang selaras. Sedangkan tuntutan agar setiap orang selalu membawa diri secara rukun merupakan suatu usaha terus-menerus agar jangan sampai terjadi konflik terbuka. Kemampuan untuk membawa diri dengan rukun itu diusahakan dalam tiga tingkatan, yaitu melalui tekanan sosial, internalisasi, dan nilai-nilai etis tertentu.
1.Tuntutan untuk mencegah konflik. Hal mendasar dari tuntutan ini adalah agar jangan sampai pecah konflik terbuka. Konsekuensinya, apabila konflik dapat muncul dari kepentingan-kepentingan pribadi maka individu-individu dituntut untuk mendahulukan kepentingan bersama. Hal terutama yang berpengaruh dalam kerukunan adalah emosi-emosi yang melekat pada kepentingan-kepentingan itu. Oleh karena itu, masyarakat Jawa mengembangkan norma-norma kelakuan. Dalam menghadapi persoalan, konfrontasi terbuka adalah sesuatu yang dapat membahayakan kehidupan bersama.
2.Internalisasi
Melalui pendidikan dalam keluarga, anak dididik untuk mampu berlaku rukun. Dalam proses itu, anak akan menyadari pentingnya kesatuan. Selanjutnya anak merasa malu bila berlaku tidak sesuai dengan lingkungannya. Perilaku sopan dan menghargai orang lain tumbuh dari dorongan untuk menghindari rasa malu. Pada saat dewasa, seseorang sudah menyadari perlunya bersatu dengan kelompoknya.
3.Sikap-sikap etis
Sikap dasar adalah kebebasan dari pamrih. Orang yang bebas dari pamrih akan mengembangkan sikap nrimo, yaitu menerima segala apa yang mendatanginya tanpa protes dan pemberontakan. Nrimo menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa membiarkan diri hancur olehnya. Sikap lain adalah sikap rela melepaskan apa yang sebaiknya dilepaskan. Selain kebebasan dari pamrih, sikap yang juga dituntut adalah kesediaan untuk memenuhi kewajiban sehair-hari dengan tenang, rendah hati, dan tanpa pamer.
b.Struktur dasar etika keselarasan.
Struktur dasar etika keselarasan adalah pertama, menjaga keselarasan. Keselarasan dalam masyarakat merupakan sesuatu yang ada sejak semula. Manusia merupakan unsur keselarasan dalam dunia. Manusia perlu menyadari dirinya. Kekacauan muncul karena ada unsur yang meninggalkan tempatnya. Oleh karena itu, unsur itu harus kembali pada fungsi dan tempatnya, membatasi dirinya dalam tempat dan fungsinya, dan melakukan tugasnya tanpa pamrih. Kedua, bukan mengubah. Dunia justru akan lebih baik jika setiap pihak tahu diri dan membatasi diri pada pemenuhan kewajiban sesuai kedudukan masing-masing.
Ketiga, tempat yang tepat. Pemahaman akan tempat adalah hal yang penting. Nilai yang tertinggi adalah bahwa semua relaitas berada pada tempatnya yang tepat, berada dalam keadaan selaras dan seimbang. Oleh karena itu, orang perlu membuang sebagai segala ambisi, pendirian, cita-cita, demi kebaikan masyrakat. Kelima, rasa. Bagi orang Jawa, dimensi-dimensi hakiki realitas hanya bisa dirasakan. Dari kedalaman rasa itu, orang memahami tempatnya yang cocok dan menyesuaikan diri dengan keselarasan umum. Akibatnya, studi yang sistematik dan diskursif, tidak banyak diminati.
c.Tantangan dan kelemahan
Dalam dinamika zaman sekarang, etika keselarasan jelas ditantang untuk mengaktualisasikan konsep-konsepnya. Dalam menghadapi tantangan itu, menjadi kelihatanlah bahwa etika keselarasan mempunyai kelemahan-kelemahan.
1.Kreativitas
Kreativitas sangat dibutuhkan dalam dunia yang terus berkembang ini. Kreativitas ditandai oleh pemikiran, pencarian, penemuan, dan penciptaan yang baru. Hal itu jelas bertentangan dengan etika keselarasan. Akan tetapi, bila memakai etika keselarasan, yang membiarkan sesuatu berkembang menurut dinamikanya, jelas akan terjadi kemiskinan, kelaparan, perang, dan lain-lain.
2.Pemecahan konflik
Dalam dunia zaman ini, masih mungkinkah konflik-konflik dipecahkan dengan cara yang ada dalam etika keselarasan? Tatanan tradisional yang stabil dan adil, yang memungkinkan etika keselarasan, tidak ada lagi. Tatanan yang ada sekarang cendrung tidak stabil dan juga tidak adil. Dalam menghadapi tatanan yang sekarang, orang dituntut untuk menyuarakan kehendaknya, mengkritik, dan menuntut suatu tatanan yang adil. Hal-hal ini jelas tidak ada dalam etika keselarasan.
3.Harkat etika keselarasan
Tuntutan untuk menghormati kedudukan masing-masing dan mau hidup rukun, hanya relevan bila tatanan masyarakatnya adil. Tuntutan menjadi tidak etis bila orang harus rukun atas dasar ketidakadilan dan harus hormat terhadap kedudukan pihak yang tidak berhak.
Adakah di tempat lain?
Di daerah saya, Manggarai-Flores, beberapa konsep etika keselarasan ada meskipun muncul dalam cara yang berbeda. Sewaktu kecil, orang tua mengajarkan saya untuk tahu diri, menghormati orang yang lebih tua, mengembangkan sikap rendah hati, dan taat pada keputusan bersama. Nasihat yang menarik terungkap dalam kalimat populer di Manggarai “muku ca pu’u neka woleng curup, teu ca ambong neka woleng jaong, yang artinya hendaklah kita yang serumpun tidak bersilang pendapat. Nasihat itu menggambarkan pentingnya persatuan dalam suatu kelompok masyarakat Manggarai.
Sumber: Magnis-Suseno, Franz. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995
Franz Magnis-Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 71.
Magnis-Suseno, Wayang, hlm. 71.
Magnis-Suseno, Wayang, hlm. 71-72.
Magnis-Suseno, Wayang, hlm. 72
Magnis-Suseno, Wayang, hlm. 73
Magnis-Suseno, Wayang, hlm. 74
Magnis-Suseno, Wayang, hlm. 76
Magnis-Suseno, Wayang, hlm. 78-79
Magnis-Suseno, Wayang, hlm. 81
Magnis-Suseno, Wayang, hlm. 83