Bu Enik Rusmiati adalah salah satu guru Bahasa Indonesia di MTsN 2 Kab Blitar, beliau adalah guru favorit saya. Dulu, saya masuk di kelas unggulan Excellent dan Bu Enik merupakan salah satu guru yang bertanggungjawab pada kelas unggulan ini. Bahkan, anak laki-laki kedua beliau, juga berada dalam satu kelas yang sama dengan saya. Namanya Lukyan. Ibu ini cukup favorit di kelas saya, karena penyampaiannya yang tegas, dan bisa berbaur dengan murid-muridnya, kelas saya yang problematik ini kerap menjadi objek kemarahan beliau, tapi juga beliau yang kerap turun tangan menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada. Ruangan beliau tepat di depan ruang kelas saya, jadi kalau ada yang ramai dan tidak bisa diatur, lapornya ke Bu Enik. Kalau ada yang main sepak bola di dalam kelas, lapornya ke Bu Enik. Kalau ada yang pacaran di dalam kelas, lapornya ke Bu Enik. Kalau Lukyan nakal, lapornya ke Bu Enik. Dan respon beliau, selalu, "He he he! Lukyan, jangan njaraki Hilma terus! Nanti jodoh loh!" Ya begitulah. Lukyan dengan rambut klimisnya itu selalu membuat saya geram. Bagaimana tidak? Sisa pomade di tangannya usai meng-klimiskan rambutnya itu selalu di usap-usapkan ke gorden, karpet, bahkan tas saya. Siapa yang tidak marah-marah dan mencaci? Tentu saja! Saya akan berteriak-teriak dan melaporkannya pada Bu Enik, dan respon Lukyan? Senyum-senyum tanpa dosa layaknya orang gila.
Dulu saya adalah anak pondok pesantren, yang selalu memelas ketika teman-teman saya makan bekal dari orang tuanya, saya selalu pergi ke kantin membeli makan. Terkadang saya pun iri, tentu saja! Siapa yang tidak iri setiap pagi dibuatkan sarapan oleh ibunya? Disiapkan bekal dan seragamnya? Sedangkan saya, sarapan saja pun tidak pasti. Kesenjangan ini cukup saya rasakan, karena dalam kelas saya, hanya saya yang anak pesantren. Tapi, ada momen disaat Bu Enik membawakan bekal kepada saya, membuatkan saya nasi goreng dan menyuruh saya makan di kantornya. Alasanya? Lukyan malu dibawakan bekal. Normal mother in this world, ingin menyiapkan dan membawakan makanan untuk anaknya. Tapi si Lukyan aneh ini, malah menolaknta secara mentah-mentah. Dasar anak tidak mau bersyukur! Hal itu yang pernah membuat saya terharu, akhirnya saya bisa merasakan bagaimana dibawakan bekal dari rumah, bagaimana rasanya tidak perlu beli makanan di kantin dan bisa menghemat uang. Hingga pernah saya terfikir, mungkin Bu Enik iba dengan saya? Atau mungkin Bu Enik memang sayang dan sudah menganggap saya seperti anaknya sendiri? Se perhatian itukah beliau? Tapi tentu saja, walau hal itu sangat berkesan dan terkenang dalam hidup saya, saya gengsi untuk mengucapkannya sampai saat ini.
Saya mulai dekat dengan Bu Enik ketika saya bergabung pada ekstrakurikuler jurnalistik, saya mendalami hal tersebut, membuat berita, menciptakan cerpen puisi dan menjadi reporter. Hingga beliau menyadari potensi saya public speaking. Beliau akhirnya kerap mengajak saya untuk mengikuti lomba pidato, dai, baca puisi dan menjadikan saya moderator saat upacara bendera. Saya kerap diajak keluar saat pembelajaran, diajak berlatih, lomba sana sini, bahkan jalan-jalan. Sampai teman-teman saya menganggap bahwa yang anak Bu Enik ini saya, bukan Lukyan. Tapi jangan dibilang anak manja kesayangan Bu Enik ya, saya pun pernah dimarahin beliau ketika saya salah. Saya dulu pernah pacaran ala-ala belajar saat kencan. Bukan dengan si Lukyan itu ya, enak saja! Dan ya, beliau memang tidak pernah pandang bulu untuk menghujat. Banyak masalah yang saat itu datang pada saya, dan saya katakan hal tersebut juga sangat membekas. Sakit dihujat Bu Enik hehe. Hingga naik ke kelas 3, beliau selalu mengingatkan saya untuk fokus belajar saja, belajar UN sungguh-sungguh dan fokus mengejar SMA impian saya. And than, I got it! Saya juara 1 nilai UN di MTs saya dan satu-satunya siswa yang masuk 10 besar di Blitar dari sekolah saya. Beliau yang menelpon Ibu saya sambil menangis saat itu, saya tidak bisa menerima telponnya karena saya sudah masuk di pondok ketika SMA.
Yah mungkin itu dia, beliau merasa kehilangan anak perempuannya yang nakal, yang tidak pernah akur dengan si Lukyan, but I think Lukyan pun juga tidak akan begitu saja melupakan saya menjadi musuh bebuyutannya. Setiap hari raya pun saya selalu menyempatkan diri untuk hadir ke rumah beliau, beliau pun masih menyambut dengan tatapan dan senyuman yang sama. Selalu meminta saya menginap dan bercengkrama lebih lama. Beliau selalu saja saya rindukan. Hingga saat inipun, beliau masih guru favorit saya. Yah siapa tau bisa menjadi mama saya ya di masa depan dan berbesan dengan Ibu saya wkwk. Saya ucapkan Selamat Hari Guru untuk seluruh pengajar di seluruh dunia. Kalian adalah pengukir ilmu dan cerita bagi setiap anak didik kalian. Guru dan murid adalah ikatan orang tua dan anak tanpa garis keturunan. Ikhlas, mulia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H