Lihat ke Halaman Asli

INTAN PURNAMASARI

Mahasiswa Prodi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya

Menilik "Aturan Jam Pulang Malam Perempuan", Termasuk Kekangan?

Diperbarui: 5 April 2024   02:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Sangat jelas terlihat bahwa perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan biologis melalui penampakan fisiknya. Namun, tak sedikit perbedaan biologis ini menyebabkan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga kerap kali muncul perdebatan di masyarakat baik dari segi derajat sosial hingga jabatan di dunia kerja. 

Budaya semacam itu nyatanya masih awet hingga saat ini yang mana ruang gerak perempuan seakan memiliki batasan kuat sehingga tak jarang kedudukan perempuan dianggap sebelah mata. Hal senada dengan stigma tugas seorang perempuan di Indonesia akan berakhir pada menyuci, memasak, dan melahirkan. Miris! Pemikiran kuno yang tak pantas berkembang di tanah Indonesia sehingga menempatkan posisi perempuan semakin hina.

Fakta tersebut nyatanya telah hangat diperbincangkan oleh masyarakat yang mana kesetaraan perempuan dan laki-laki nampaknya harus menjadi perhatian lebih. Meskipun konsep gender merupakan hal alami dan kodrat Tuhan, namun masyarakat perlu upaya guna menyeimbangkan konsep gender di garis sosial sehingga kedudukan perempuan tidak seakan terdiskriminasi dan tidak mendapatkan keadilan. 

Tak berhenti disitu, kerap kali perempuan yang lemah di posisi sosial malah banyak yang mendapatkan kekerasan fisik dan disepelekan oleh kaum laki-laki. Maraknya kejadian ini pula menciptakan predikat “lemah" untuk perempuan. Contoh sederhananya adalah aturan jam pulang malam yang kerap dipakai oleh banyak orang tua, terutama untuk anak perempuan mereka. 

Peraturan ini dibuat lantaran kondisi malam hari memiliki persentase yang besar untuk tindakan kejahatan beraksi. Maka keluar sendirian di malam hari mendapat larangan keras bagi sebagian besar orang tua di Indonesia guna menjaga anaknya, terutama anak perempuan, dari segi keamanan.

Di samping itu, masih ada beberapa orang tua yang memberikan kelonggaran kepada anak perempuannya pulang di atas batas wajar jam malam. Meski demikian, stigma perempuan yang pulang malam oleh orang lain dan tetangga tidak dapat dihentikan dan diprediksi sehingga akan timbul prasangka buruk. 

Seperti diketahui, masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap aturan sosial tak tertulis yang mana hal tersebut seakan telah terbentuk alami bahwa perempuan yang pulang malam dinilai sebagai perempuan nakal dan tidak bermoral. Perempuan yang keluar malam akan dicap tidak wajar dari segala aspek karena melanggar norma adat, agama, dan sosial sehingga julukan “Perempuan Sembarangan” kerap kali dilayangkan secara sepihak. Penyataan senada telah diungkap oleh Gail Pheterson pada 1994 melalui artikelnya The Whore Stigma : Female Dishonor and Male Unworthiness bahwa perempuan yang pulang malam selalu dianggap sebagai pekerja seks komersial dengan julukan populer “kupu-kupu malam”.

Hal-hal negatif semacam itulah yang ingin ditepis oleh para orang tua kepada anak perempuannya. Tidak melulu soal keamanan, namun juga segi penilaian sosial atas norma adat tidak tertulis yang berlaku. Norma adat, terutama masyarakat suku Jawa, menyebutkan bahwa terdapat kalimat “anak perawan ojo balik kebengen” yang dalam Bahasa Indonesia berarti “anak perawan jangan pulang larut malam”.

 Budaya ini masih ajek di masyarakat Jawa karena pulang larut malam dianggap saru atau tidak baik. Keberadaan aturan tak tertulis ini nyatanya memiliki tujuan yang baik yakni menjaga kaum perempuan dari hal-hal negatif seperti pelecehan seksual, aksi pembegalan, hingga kepercayaan masyarakat atau tetangga terhadap perempuan itu sendiri. 

Dengan ini, banyak keluarga yang khawatir dan mewanti-wanti agar anak perempuannya pulang di batas wajar jam malam. Dengan memberlakukan aturan tersebut merupakan cara orang tua untuk mengutarakan rasa kasih saying, kepedulian, dan perhatiannya. Namun tak sedikit anak yang menganggap hal tersebut sebagai sebuah kekangan. Lantas, mengapa demikian?

Tak sedikit dari remaja perempuan menyampaikan kisahnya secara terbuka melalui kolom komentar media sosial baik Twitter, Instagram, maupun TikTok bahwa dirinya merasa terkekang dengan adanya aturan jam pulang malam yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Meski mengetahui bahwa itu adalah cara orang tua untuk memberikan perlindungan, namun mereka menganggap aturan itu membatasi ruang geraknya dalam berinteraksi dengan rekan lain. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline