Dewasa ini jika berbicara tentang kesetaraan gender bukanlah sesuatu yang asing. Maraknya pembahasan terkait keadilan dan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki telah mewarnai banyak ruang diskusi maupun pertemuan masyarakat di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, sejak masa R.A Kartini, kesetaraan gender telah diperjuangkan. Dalam perjuangan tersebut, perempuan diharapkan memiliki kebebasan dalam menempuh pendidikan tinggi yang setara dengan laki-laki. Meskipun upaya kebebasan mencapai kesetaraan pendidikan antara perempuan dan laki-laki terus dilakukan, namun diskriminasi tetap terjadi hingga saat ini. Bahkan diskriminasi berkembang semakin luas, tidak hanya dalam dunia pendidikan, tetapi juga dunia kerja, dunia sosial, dan lain sebagainya.
Budaya patriarki dijadikan banyak pihak sebagai kacamata yang memandang perempuan merupakan makhluk lemah dan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu hal yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Belum banyak masyarakat yang sadar bahwa sekarang ini perempuan memiliki potensi dan kontribusi untuk melakukan hal-hal yang dianggap tidak bisa dilakukan oleh perempuan.
Menurut data Global Gender Gap Report (GGGI) tahun 2021, Indonesia berada pada urutan ke 101 dari 156 negara di dunia terkait rendahnya perwujudan kesetaraan gender dengan skor 0,688/68,8 persen. Pada tahun 2022 perwujudan kesetaraan gender di Indonesia mencapai skor 0,697, atau terjadi peningkatan sebesar 0,009 dari tahun sebelumnya dan menduduki peringkat ke-92 dari 146 negara.
Meskipun peningkatannya tidak begitu signifikan, namun pencapaian ini harus disyukuri. Artinya, ada harapan bahwa ke depan, angka kesetaraan gender di Indonesia akan semakin baik dengan terus melakukan upaya dan dukungan perwujudan kesetaraan gender.
Minim Kesadaran dan Pengetahuan
Masih banyaknya ditemukan praktik-praktik ketidaksetaraan gender di Indonesia tak terlepas dari masih minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat itu sendiri. Hal ini tak hanya dialami generasi orang tua, tetapi juga anak-anak muda yang masih duduk di bangku sekolah dan pendidikan tinggi. Minimnya kesadaran dan pengetahuan ini melahirkan diskriminasi terhadap kaum perempuan yang pada akhirnya membuat perempuan semakin tertinggal dan bahkan mengalami tindak kekerasan.
Dalam berbagai sendiri kehidupan, masyarakat cenderung memiliki pemahaman patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial, dunia kerja, ekonomi, pendidikan, dan dalam keluarga. Hal ini yang kemudian semakin menguatkan posisi perempuan sebagai makhluk lemah sekaligus warga negara kelas dua. Dalam konteks pekerjaan misalnya, perempuan dianggap tidak pantas menjadi seorang pemimpin karena posisi pemimpin hanya layak untuk laki-laki. Lahirnya statement "perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya akan di dapur juga" menjadi tolak ukur bahwa perempuan hanya mampu memasak, menyuci dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Padahal kenyatanya, perempuan memiliki potensi yang lebih dari itu.
Di lingkungan pendidikan, ketidaksetaraan gender juga kerap ditemui. Contoh kecil misalnya, sekolah memiliki ketua kelas atau ketua OSIS yang lebih didominasi oleh laki-laki. Ketika perempuan diberikan kesempatan menjadi seorang pemimpin di lingkungan sekolah, terkadang muncul perdebatan: "apa dia bisa membagi waktu? atau jadi ketua OSIS kan banyak tugasnya, apa dia mampu?". Padahal, data Kemdikbudristek tahun 2020 menunjukkan, jumlah peserta didik laki-laki dan perempuan di Indonesia hampir seimbang. Pada jenjang SD, peserta didik laki-laki sebanyak 52,14% dan perempuan 47,86%. Jenjang SMP, peserta didik laki-laki 51,10% dan perempuan 48,90%. Sementara untuk tingkat SMA siswa laki-laki 44,50% dan perempuan 55,50%.
Melihat data ini, artinya, kesempatan perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan beragam program pendidikan maupun kesempatan memimpin berada dalam porsi yang sama.
Praktik Baik Merdeka Belajar Melalui Pendidikan Kesetaraan Gender