Tentu banyak yang nyinyir dengan judul tulisan ini, apalagi bagi kelompok yang telah menentukan pilihan politiknya pada presiden Joko widodo dan kelompok politik termasuk partai politik pendukungnya. tapi marilah kita melihat proses demokrasi indonesia yang membutuhkan "gisi" agar kehidupan demokrasi indonesia lebih berkualitas dan sehat.
Ungkapan lord acton, "kekuasan cenderung korup, kekuasaan mutlak cenderung korup secara mutlak" seakan membenarkan kenyataan sejarah kekuasaan di dunia politik dalam belahan dunia manapun. semua sadar bahwa bila kekuasan dipegang oleh manusia biasa yang cenderung tanpa kendari maka potensi penyelewengan besar terjadi. disinilah pentingnya checks and balances. dalam demokrasi itu tergambar dengan hadirnya partai oposisi yang selalu memberikan perbedaan pandangan terhadap sikap penguasa.
Di indonesia praktek politik seperti ini resmi dimulai ketika Pemerintahan SBY yang terpilih secara demokratis dalam pemilu 2004 silam. PDI Perjuangan sebagai partai politik yang gagal mengusung ketua umumnya sebagai calon presiden resmi mendeklarasikan diri sebagai Partai oposisi. kader dan fungsionaris PDI Perjuangan di parlemen dan luar parlemen tak henti hentinya menyerang semua kebijakan pemerintahan SBY dan yang paling parah adalah kebijakan mengenai Bahan bakar Minyak. Pemerintahan SBY bahkan terkesan kedodoran oleh kritik PDI Perjuangan. itulah realitas demokrasi kala itu.
Waktu berputar dan pemerintahan berganti, giliran PDI perjuangan yang menjadi penguasa dengan Joko Widodo sebagai presidennya. giliran PKS dan partai Gerindra yang mendeklarasikan diri sebagai partai oposisi. Namun sayang kritik partai oposisi saat ini tidak senyaring zaman PDI perjuangan dulu. kritik gerindra hanya datang dari Fadli zon. PKS juga demikian kritik pada pemerintahan joko widodo hanya datang dari Fahri Hamzah (kader yang telah di pecat).
Sementara Amien Rais adalah sosok fenomenal untuk urusan kritik politik. Amien seakan terlahir kedunia untuk mengkritik penguasa siapapun penguasanya. sejak zaman pak harto pada dekade 1980-1990an hingga hari ini ia terus mengkritik rezim penguasa,
Ketiga sosok inilah yang sedikit menghangatkan suasana politik kebangsaan kita ditengah sikap "ABS" yang ditunjukkan aktifis parpol lain khususnya partai pendukung pemerintah. Golkar yang zaman JK terkenal dengan obyektifitasnya kini pun tak berdaya, elit elitnya duduk diam membisu bahkan justru menjadi baju anti peluru bagi presiden joko widodo.
Bayangkan jika hari ini tidak ada suara amien, Fadli dan Fahri, apalah jadinya republik ini. Presiden Joko widodo akan melakukan apapun keinginnannya dan tak ada suara lain yang berbeda. bayangkan bila tak ada kritik fahri hamzah terhadap KPK, mungkin semua kita akan memandang KPK tak pernah berbuat satupun celah dan kesalahan. Hanya Fahrilah yang secara terbuka berani mengkritik aktifitas KPK. akhirnya saya mau katakan negeri ini tetap membutuhkan ketika sosok ini untuk menjadi gizi bagi majunya demokrasi republik indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H