Lihat ke Halaman Asli

Nur Mayni Haniyah

Universitas Negeri Surabaya

Penerimaan Diri dan Lingkungan bagi Pasien dengan Gangguan Kepribadian Ambang dari Perspektif Carl Rogers

Diperbarui: 21 Desember 2022   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut pernyataan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Dr.Celestinus Eigya Munthe, saat ini di Indonesia sekitar 20% populasi penduduknya mempunyai potensi masalah gangguan jiwa, sehingga menurut prevalensi masalah gangguan jiwa ini ditemui pada sekitar 1 dari 5 penduduk.

Isu kesehatan mental sendiri sudah mulai banyak didendangkan melalui berbagai platform digital maupun melalui gerakan-gerakan nyata. Munculnya bermacam-macam akun media sosial Instagram seperti @riliv yang berfokus pada informasi kesehatan mental untuk mengajak pengikutnya peduli terhadap isu tersebut. Media sosial kini tidak hanya difungsikan sebagai komunikasi elektronik yang berisi konten-konten hiburan, melainkan mulai berjalan ke arah tujuan yang lebih baik yaitu menjadi sarana penyebaran informasi terhadap kesadaran kesehatan mental. World Health Organization juga menyatakan bahwa kesehatan tidak terbatas hanya pada kebebasan dari gangguan dan disabilitas mental. Sehingga definisi kesehatan yaitu keadaan sejahtera secara fisik, mental dan sosial yang utuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesehatan mental merupakan suatu isu yang perlu diberi banyak perhatian oleh masyarakat.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa isu kesehatan mental yang sudah mulai "populer" tidak serta merta diterima baik oleh masyarakat. Adanya stigma terhadap masalah kesehatan mental membuat isu yang berusaha disuarakan ini bisa menjadi sia-sia. Berbagai macam perlakuan seperti menyembunyikan, memilih diam, mengucilkan, diskriminasi, bahkan praktik memasung juga masih menjadi alternatif yang dipilih dalam merespon kenyataan bahwa seseorang memiliki gangguan jiwa. Perlakuan tersebut muncul dari perasaan malu dan menganggap isu mental sebagai hal tabu, yang mana datang dari orang-orang terdekat seperti keluarga.

Besarnya penolakan dapat membuat pasien semakin menjauh dari usaha pengobatan. Gangguan mental tersebut merupakan bagian dari diri seseorang. Namun, banyaknya stigma yang melekat dapat mendorong seseorang untuk juga menolak dirinya sendiri. Hal ini dapat berakibat mereka kehilangan harga diri. Perasaan malu pada gangguan yang dimiliki dan rasa takut dengan reaksi orang sekitar dapat menjadi boomerang bagi orang-orang dengan gangguan jiwa.

Salah satu gangguan kesahatan mental yang dapat dikulik terkait dengan pengaruh penerimaan diri dan lingkungan adalah Borderline Personality Disorder (BPD). National Institute of Mental Health memberi pengertian Borderline Personality Disorder sebagai gangguan mental yang mempengaruhi kemampuan seseorang mengatur emosi. BPD atau gangguan kepribadian ambang membuat seseorang kehilangan kendali emosi, bersikap impulsif, dan memiliki perasaan tidak menentu tentang dirinya sendiri. Bisa dikatakan semua orang pasti pernah merasa dirinya adalah orang yang baik. Tetapi dilain waktu bisa jadi kita melihat diri kita sebagai orang yang tidak baik. Penilaian terhadap diri sendiri dan keputusan untuk menerima hal tersebut mungkin saja terjadi pada setiap individu.

Namun, bagi penderita BPD, proses pergantian tersebut terjadi dalam jangka waktu yang cepat, bahkan episode ini bisa kurang dari satu hitungan jam. Selain itu, orang dengan gangguan kepribadian ambang memiliki pandangan dan persepsi yang sangat ekstrim antara nilai baik dan buruk. Sehingga, ketika pandangan terhadap dirinya berbentuk perasaan yang negatif, maka mereka akan melihat diri mereka sebagai sesuatu yang buruk dan tidak berniali. Perasaan tidak menentu yang ekstrim tersebut menunjukkan absennya konsep diri yang jelas, yang mana hal ini dapat mengakibatkan pada kecenderungan untuk menolak diri. Para peneliti masih belum yakin dengan penyabab pasti dari gangguan kepribadian ambang. Namun, beberapa hasil studi menunjukkan faktor-faktor yang memperkuat kemungkinan munculnya gangguan, yaitu faktor genetik (dari orang tua atau saudara kandung), faktor psikologis (pengalaman masa kecil atau kejadian traumatis), dan fungsi otak.

Penerimaan merupakan pondasi yang besar pada kasus pasien dengan gangguan mental. Dalam perawatan pasien BPD, terdapat dua psikoterapi yang digunakan, yaitu Dialectical Behavior Therapy (DBT) dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). DBT perupakan perawatan dengan konsep kesadaran akan situasi dan keadaan emosi seseorang saat ini (mindfulness). Sedangkan CBT mengarahkan pada penataan persepsi tidak akurat tentang diri mereka. Perawatan-perawatan tersebut mengarah pada bantuan untuk membantu menyadarkan pada pandangan diri seseorang pada saat ini. Tujuan dari keduanya untuk memperbaiki interaksi dengan orang lain. Namun, perawatan ini belum tentu dapat didapatkan jika penderita BPD tidak mendapat jangkauan pada perawatan tersebut. Sedangkan faktor terbesar yang menghambat adalah kurangnya dukungan dari orang sekitar. Maka, penting bagi orang sekitar utamanya keluarga untuk menjadi support system bagi penderita BPD.

Adanya perasaan tidak menentu tentang dirinya sendiri. Pengaruh konsep diri dan penerimaan diri oleh lingkungan yang menjadi salah satu kebutuhan bagi orang dengan gangguan kepribadian ambang dapat dikaji berdasarkan teori Carl Rogers.

Perspektif Carl Rogers

Teori Rogers berlandaskan pendekatan humanistik yang menjadikan diri seseorang sebagai fokus utama dari terapi. Motif utama manusia dalam perkembangannya yaitu memiliki kecenderungan untuk mengaktualisasi diri. Kecenderungan individu untuk bertindak mengaktualisasi dirinya berdasarkan pengalaman diri akan membentuk konsep diri seseorang. Namun, dalam diri seseorang dengan gangguan kepribadian ambang aktualisasi diri ini tidak dapat terpenuhi karena adanya kecenderungan untuk memandang dirinya secara ekstrim, baik itu persepsi diri negatif maupun positif. Ketidaktentuan tersebut menghambat mereka dalam menghubungkan pengalaman dengan struktur diri. Sedangkan bagi Rogers, pribadi yang sehat sehat dapat mengasimilasi pengalaman ke dalam struktur mereka sendiri.

Kongruensi merupakan hal yang penting dalam pembentukan konsep diri, yaitu adanya asimilasi pada pengalaman dan struktur diri yang asli karena pribadi. Seseorang cenderung berperilaku konsisten dengan diri ideal yang Semakin kongruen atau konsisten konsep diri ideal dan citra diri seseorang semakin tinggi pula harga diri mereka. Harga diri dapat tumbuh melalui adanya penghargaan positif tanpa syarat pada diri. Seseorang dengan harga diri tinggi berarti mampu mentoleransi pengalaman hidupnya dan terbuka dengan orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline