Lihat ke Halaman Asli

Nurul Indriyana

Sarjana Hukum

Terkikisnya Kekayaan Alam akibat Terjualnya Kewenangan

Diperbarui: 25 Juli 2023   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekayaan alam di Indonesia sangat beragam, baik kekayaan lautan, maupun darat dan sumber daya alam yang ada di dalam keduanya. Kekayaan sumber daya alam itu di antaranya ialah, perhutanan, perkebunan, pertambangan, kelautan, peternakan, pertanian, dan lain sebagainya. Kekayaan alam di Indonesia perlu dikelola dengan baik demi kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, aturan pengelolaan kekayaan alam sendiri telah tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Aturan tersebut ada demi tercapainya kesejahteraan rakyat, dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang ada. Walaupun demikian, masih saja terdapat kasus tentang penyelewengan dalam pengelolaan sumber daya alam. Penyelewengan ini terjadi karena perbuatan melawan hukum terhadap aturan UU Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait lainnya. Pintu penyelewengan ini, sangat rawan terjadi pada tahap perizinan perusahaan. Dikarenakan pada tahap ini merupakan, tahap penentuan dari terlaksananya project perusahaan tersebut. Dari beberapa kekayaan alam yang ada, yang sering menjadi sasaran empuk para koruptor sumber daya alam ialah sektor perhutanan, perkebunan dan pertambangan. Ketiga sektor tersebut pengelolaannya seringkali mengakibatkan kerugian, baik untuk lingkungan maupun masyarakat sekitar.

Berikut ialah contoh kasus penyelewengan aturan dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertama, perizinan sektor perkebunan kelapa sawit di Papua yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ipi Maryati mengatakan bahwa, beberapa pelanggaran yang ditemukan pada sektor kelapa sawit tersebut di antaranya ialah, perizinan, praktek seforestasi hutan alam dan lahan gambut menjadi kelapa sawit, pembukaan lahan dengan cara bakar, tidak tersalurkannya pemerataan ekonomi pada masyarakat sekitar areal konsesi, konflik tenurial, serta persoalan yang muncul terkait dengan kewajiban pembangunan kebun plasma.[1]

Kedua, kasus Nur Alam di Sektor Pertambangan yang merusak lingkungan dan cacat prosedur. Nur Alam, gubernur Sulawesi Tenggara memberikan perizinan pada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) dengan prosedur yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini berdasarkan dua saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, pada hari Rabu, 14 Februari 2018. Dua ahli tersebut ialah Basuki Wasis yang merupakan ahli kerusakan tanah dan lingkungan. Serta Agus Setiawan yang merupakan auditor Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Keduanya bersaksi bahwa, terdapat kerusakan alam dan kesalahan prosedur yang menyebabkan kerugian Negara akibat penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) nikel PT Anugerah Harisma barakah (AHB) di Pulau Kabaena, Kabupaten bombana oleh terdakwa Nur Alam saat menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara.[2] Perizinan yang diberikan oleh Nur Alam tersebut, mengakibatkan kerugian ekologis, ekonomis dan biaya pemulihan. 

Dari contoh kasus yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat bahwasannya kasus penyelewengan pengeolaan sumber daya alam, dimulai dari perizinan usaha tersebut. Apabila pemberian usaha itu tidak dilakukan sesuai dengan aturan yang ada, maka akibatnya akan membuka masalah-masalah baru yang berdampak negatif pada banyak orang. Perizinan usaha ini diberikan oleh pemerintah daerah (Menteri, gubernur, atau bupati/walikota), hal ini dikarenakan pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menerbitkan izin lingkungan untuk setiap usaha dan/ atau kegiatan yang di wilayah kewenangannya. Hal ini berdasarkan pada Pasal 36 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa, "Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, Guberbur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya."  Selain itu, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan, jika menganggap telah terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini juga telah diatur dalam Pasal 73 UU Nomor 32 Tahun  2009 yang mengatakan bahwasannya, "Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup." Maka dari itu, sudah semestinya pemerintah Daerah mengetahui usaha atau kegiatan dalam wilayah kewenangannya, yang telah melanggar ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Realitanya, dibuktikan dengan beberapa contoh kasus yang telah disebutkan di atas, pemerintah daerah masih melanggar ketentuan yang ada, untuk tetap memberikan izin lingkungan pada usaha yang tidak memenuhi persyaratan. Padahal, Izin lingkungan itu merupakan kunci atau persyaratan izin usaha. Oleh karena itu, jika kegiatan usaha tidak mempunyai izin lingkungan, maka tidak akan mendapatkan izin usaha. Hal ini berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa, "izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan / atau kegiatan." Berdasarkan kasus tersebut, maka pemerintah daerah belum menerapkan kewenangan yang sesuai dengan wewenang ada. Berarti kewenangan tersebut tidak selaras dengan yang dikatakan oleh tokoh yang bernama F.P.C.L. Tonnaer yang mengatakan bahwa, "Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om positiefrecht vast te stellen n aldus rechtsbetrekking tussen burgers onderling en tussen overheid en te scheppen." Artinya kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebegai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat dirincikan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga Negara.[3] Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa, apabila pemerintah daerah melakukan kewenangan yang tidak sesuai dengan wewenang yang ada, maka dapat merusak hubungan legitimasi wewenang yang telah disepakati di antara masyarakat dengan pemerintah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline