Menurut Dewanta (2003: 20), era globalisasi dapat dikatakan sebagai sebuah proses yang bersifat ambivalen.[1] Pada sisi negatifnya, globalisasi menjadikan gerak ilmu pengetahuan dan teknologi seolah-olah menjadi tidak terbatas serta kecerdasan sumber daya manusia yang tak sebanding dengan kualitas budi pekertinya, sehingga terjadi dekadensi moral atau bahkan loss of adab.
Sayangnya problem tersebut belum menjadi focus utama kita atau malah masih dipandang sebelah mata. Sikap hidup materialistic, halal-haram diputarbalikkan, penyakit korup, kejahatan narkotika, dan seterusnya menyelimuti kehidupan modern saat ini. Beruntung, sebagian masyarakat masih sadar dan rindu untuk menginternalisasikan dan merealisasikan ajaran Islam.
Kalau kita ingat kembali sejarah Islamisasi di Nusantara, salah satu metode yang dilakukan oleh para ulama untuk menanamkan nilai-nilai Keislaman adalah melalui pendekatan kebudayaan. Maka, muncul karya-karya sastra yang kental dengan nuansa keIslaman, seperti Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, Serat Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita, Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV, dan lainnya.[2]
Pelbagai karya sastra ini bukan telah usang, tetapi masih penting untuk dimaknai kembali oleh generasi saat ini, karena didalamnya terdapat pelajaran, nasihat, pengingat, dan sejenisnya. Pada tulisan ini, akan dicoba untuk menyelami isi atau kandungan dari Serat Wulangreh karya Pakubuwana IV. Semoga bermanfaat.
Mengenal Sekilas Pakubuwana IV
Sunan Pakubuwana IV naik takhta pada usia yang begitu muda, namun ia telah mempunyai keberanian dan idealisme yang tinggi sebagai seorang raja dan pemimpin yang berilmu.
Pemikirannya dipengaruhi oleh peristiwa kebobrokan moral, karena pengaruh kompeni yang masuk kedalam kehidupan rakyatnya. Faktor tersebut membuat Pakubuwana IV ingin mengembalikan jati diri bangsanya, karena pada dasarnya Mataram merupakan kerajaan Islam.
Sebagai seorang raja muda, Sunan meminta beberapa ulama untuk mendampinginya. Ulama yang dipilih adalah mereka yang mumpuni dan juga zuhud dalam kesehariannya, ia berharap ulama dapat mendampingi dan menjadi penasihatnya dalam memimpin Kasunanan Surakarta sebagai sebuah kerajaan islam penerus Mataram.
Ketika masih berstatus putra mahkota, sikap keagamaan Sunan Pakubuwana IV banyak dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yang anti terhadap Kompeni.
Wiryakusuma adalah putra Raden Mangun Kreta yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, yang pada masa itu menjadi tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang penjajah Kompeni. Juga Kiai Imam Syuhodo Apil Quran dari Pesantren Wonorejo, Bekonang, Surakarta adalah salah seorang ulama yang dipercaya sebagai salah satu guru agama Sunan Pakubuwana IV.
Pada saat Kiai Imam Syuhodo akan mendirikan pesantren, ia mendapat bantuan dari Sunan Pakubuwana IV yang berupa umpak (penyangga tiang), soko (tiang), mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol.[3]