Mengelola Indonesia yang demikian besar dan kaya tentu harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, jujur, amanah, dan penuh kebijakan. Jika penyelenggara negara memenuhi prinsip-prinsip itu, niscaya, lempang jalan menuju Indonesia gemah ripah loh jinawi. Terlebih sebagai negara, kita telah merdeka lebih dari 60 tahun. Usia yang cukup mapan dan waktu yang lumayan panjang untuk mengejar kemakmuran bangsa.
Meski demikian, Indonesia justru tidak beranjak dari negara berkembang selama beberapa dekade. Banyak hal yang membuat negara yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau ini tertatih menuju kejayaan. Mental, birokrasi, iklim usaha, penegakan hukum, dan lain sebagainya sering dituding sebagai penyebab lambannya negara mengantarkan masyarakat menuju kesejahteraan. Namun, akar dari segala masalah itu adalah korupsi.
Sedemikian pelik dan parahnya korupsi di Indonesia hingga telah menggerogoti tiap sendi kehidupan bernegara. Bahkan mungkin telah mendarah daging dengan kehidupan bernegara di Indonesia. Bisa jadi tidak ada lembaga dan kementerian yang bebas dari praktek korupsi. Malah, konon, penyelenggara negara yang bebas korupsi justru adalah musuh bersama. Lebih jauh malah bisa menjadi musuh negara.
Karenanya, sangat wajar jika salah satu tuntutan reformasi adalah membebaskan negara ini dari korupsi. Salah satu cara membebaskan negara dari kerangkeng korupsi adalah dengan menempatkan aparatur negara yang bersih, atau setidaknya memiliki visi dan integritas dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan semangat bebas korupsi tersebut, maka komisi anti rasuah dibentuk. Dan sejak pembentukannya, KPK terus mengalami serangan dan upaya untuk melemahkan KPK—yang terbukti cukup ampuh dalam mengendus, mendudukkank oruptor di meja hijau, serta mengirim mereka ke balik jeruji penjara.
Membebaskan lembaga negara dari korupsi hanya bisa dilakukan jika aparatur negara merupakan orang-orang yang bersih. Karenanya, menempatkan pejabat negara yang memiliki integritas dalam pemberantasan korupsi merupakan kewajiban. Salah satu lembaga yang cukup penting agar pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan sebagaimana semestinya adalah Kepolisian. Sehingga, menempatkan orang nomor satu di satuan Bhayangkara yang bersih adalah keniscayaan. Tak bisa ditawar, tak bisa digugat.
Sejarah mencatat bahwa ada dua institusi yang bisa memberi petunjuk bersih tidaknya seseorang. KPK dan PPATK. Maka, sangat patut jika dalam mengajukan nama-nama yang akan menduduki posisi puncak di kepolisian lebih dulu berkoordinasi dengan dua institusi tersebut. Bukan untuk meminta restu, semata untuk meminta pertimbangan dan analisis keuangan. Mengetahui sejarah harta seseorang, bisa memberi petunjuk seberapa bersih seseorang.
Pada era pemerintahan Presiden SBY, tercatat, empat kali beliau mengangkat Kapolri. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menjelaskan bahwa di era SBY, KPK diminta melakukan uji sahih LHKPN para calon Kapolri dan hasilnya diserahkan langsung pada Presiden sebagai bahan Presiden untuk menentukan calonnya. Bukan hanya melibatkan KPK, Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto juga menjelaskan bahwa Presiden RI ke-6 SBY juga melibatkan PPATK. Pelibatan KPK dan PPATK ini memang tidak diumbar ke publik—sampai dibuka sendiri informasi ini oleh orang KPK dan politisi di DPR. Banyak pelajaran positif dari perlakuan ini. Di antaranya: tidak mempermalukan nama pejabat negara jika gagal diajukan sebagai calon Kapolri karena pelibatan KPK dan PPATK dilakukan secara tertutup; mendapat sudut pandang berbeda sehingga pertimbangan menjadi lebih matang; menghindari penolakan hebat dari publik, gejolak politik, serta gangguan atas stabilitas ekonomi negara, jika calon Kapolri yang diajukan ternyata ditolak oleh banyak kalangan karena diindikasi tidak bersih atau tidak memiliki integritas dalam pemberantasan korupsi; serta banyak hal lainnya.
Pelibatan KPK dan PPATK merupakan tradisi baik, dan seyogyanya hal baik dicontoh oleh siapa pun—atau dibuat lebihbaik, jika mampu.Termasuk oleh pemerintahan berikutnya, pemerintahan Jokowi. Jangan sampai karena ingin semata berbeda, hal baik justru dilewati apalagi dianggap tidak perlu. Jika itu dilakukan, bukan hanya salah tapi kecerobohan yang tidak perlu. Harus dicamkan bahwa kebijakan negara memengaruhi kehidupan lebih dari 200 juta jiwa di Indonesia. Adalah langkah mundur jika tradisi baik justru diabaikan. Jika itu terjadi, maka bisa dipastikan negara ini sedang menuju keterpurukan.
Presiden Jokowi dipilih oleh rakyat, dengan harapan mampu mengatasi karut-marut pelik korupsi di Indonesia. Ingat,sembari mengkritik posisi pemberantasan korupsi di Indonesia pada masa pemerintahan SBY, saat kampanye, Jokowi berjanji akan memilih orang-orang baik untuk memimpin kepolisian dan mendukung penuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Naas, Ketua Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar justru menilai Pak SBY malah lebih baik dari Jokowi dalam hal pemberantasan korupsi.Tidak hanya penggiat anti korupsi, bahkan Deputi Pencegahan KPK Johan Budi Sapto Pribowo juga mengatakan bahwa SBY lebih tegas dan lebih jelas posisinya dalam hal pemberantasan korupsi.
Gesekan antara KPK-Polri tidak sekali ini terjadi. Setidaknya, ada dua kasus besar yang membuat hubungan KPK-Polri memanas pada masa pemerintahan Presiden SBY. Namun, sebagaimana diakui oleh Johan Budi, SBY tanggap dan tegas. Membentuk tim 8 dan menunjuk tiga orang menjadi plt pimpinan KPK saat gesekan KPK-Polri terjadi yang kemudian terkenal dengan kasus cicak buaya jilid 1. Serta memerintahkan polisi menyerahkan pengusutan kasus korupsi di Korps Lalu Lintas Mabes Polri ke KPK pada kasus cicak buaya jilid 2.
Jokowi, justru jauh dari harapan publik. Alih-alih meminta pejabat yang ditetapkan menjadi tersangka untuk mundur dari jabatannya sebagaimana dilakukan oleh SBY, Jokowi malah membiarkan konflik KPK-Polri berlarut dan tidak mengambil tindakan nyata menyelesaikan kisruh ini.
Terlepas dari beragam tekanan yang dihadapi Jokowi—sebagaimana dinyatakan oleh Buya Syafii Maarif—atau sikut-sikutan dan perang bintang di Kepolisian, Jokowi adalah seorang kepala negara, kepala pemerintahan. Di pundaknya rakyat menitip harap untuk membawa Indonesia menuju negara bebas korupsi. Jokowi harus ingat, bahwa dia dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh partai. Mandat yang dia terima adalah mandat rakyat, bukan mandat partai. Dia adalah pelayan rakyat, bukan pelayan partai. Jika dirasa tidak sanggup memikul tanggung jawab, maka katakan sejujurnya dan kembalikan mandat kepada rakyat. Hal ini penting, untuk memastikan pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan dengan baik dan benar dalam lima tahun ke depan.
Saatini, baru KPK lembaga di Indonesia yang kita lihat memiliki komitmen dan integritas dalam mewujud kandisi Indonesia bebas korupsi. Menjaga, merawat, membesarkan, dan memperkuat KPK, karenanya adalah kewajiban kita. Jika kita memang ingin mewujudkan negara Indonesia yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kartaraharja. Maka negara harus bebas dari rantai, jeruji, serta labirin korupsi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H