Lihat ke Halaman Asli

Membela KPK, Mengecam Polri

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di hari saat Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskri Mabes Polri, sejumlah aktivis langsung menggalang dukungan dengan mendatangi Gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta. Lini masa media sosial pun dipenuhi dengan pesan-pesan heroisme untuk menyelamatkan lembaga anti rasuah itu dari upaya pelemahan. Aksi itu masih berlanjut hingga saat ini.

Pandangan ini tentu sangat berbeda dengan sikap masyarakat saat KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka. Calon tunggal itu Kapolri justru diangap sebagai kegagalan Presiden Jokowi dalam menunjukkan komitmennya untuk memberantas korupsi. Sikap berani KPK itu diapresiasi sebagai upaya preventif, agar Kapolri diisi oleh orang yang benar-benar berintegritas dan bersih. Maklum, Komjen Budi Gunawan dan sejumlah nama petinggi Polri lain telah lama diisukan memiliki rekening tak wajar.

Mengapa ada ketimpangan sikap masyarakat atas kedua kasus tersebut? Apakah masyarakat menganggap bahwa KPK lebih penting dari Polri? Mengapa kasus individu disikapi sebagai adu domba antar institusi penegak hukum? Sejumlah pertanyaan lain pun sering diajukan sebagai hitam dan putih. Sebagian masyarakat akan menjawabnya sebagai common sense bahwa karena hanya KPK lah benteng terakhir dalam pemberantasan korupsi.

Ya, masyarakat memang merindukan negeri ini bebas dari korupsi. Pembelaan kepada KPK, merupakan sinyal bahwa semangat pemberantasan korupsi harus tetap hidup. Perjuangan melawan korupsi bahkan danggap sejajar dengan usaha para pahlawan membebaskan bangsa ini dari kungkungan kolonialisme di masa kemerdekaan. Masyarakat saat ini rindu akan kepahlawanan dalam bentuknya yang nyata, dan KPK berhasil merepresentasi kan itu. Tak salah jika setiap calon pemimpin negeri ini selalu menghidupkan harapan pemberantasan korupsi dalam setiap kampanyenya.

Kita tentu tidak ingin terjebak dengan pernyataan bahwa Polri kurang dibutuhkan dibandingkan masyarakat, karena kedua lembaga ini seharusnya saling mengisi dan melengkapi satu sama lain bukan saling bersaing dan meniadakan. KPK dan Polri adalah lembaga yang diciptakan dengan semangat komplementer, bukan kompetitif.

Kalaupun Polri sering kurang mendapat tempat dihati masyarakat bukan berarti lembaga ini tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Polri perlu melihatnya dalam kerangka fikir masyarakat saat ini: bahwa korupsi adalah musuh nomor satu, kejahatan luar biasa yang tidak bisa dibandingkan dengan kejahatan-kejatahan jenis lainnya. Lembaga apapun yang bertentangan dengan ‘kepentingan masyarakat’ ini pastilah akan mendapat resistensi di masyarakat.

Dalam sebuah survei Index Persepsi Korupsi Polisi yang dibuat oleh Transparansi Internasional menguatkan hal ini. Polri bahkan disebut sebagai institusi yang dipersepsikan paling korup dengan skor 91 persen. Angka ini bahkan mengalahkan DPR dengan skor 89 persen serta Pengadilan dan Kejaksaan dan Parpol dengan persentase yang sama yaitu 86 persen. Karenanya wajar jika KPK dalam hal ini, menjadi harapan besar bagi masyarakat.

Begitu juga dengan hasil riset Transparency International Indonesia (TII) melalui Global Corruption Barometer (GCB) harus menjadi warning bagi Polri untuk membenahi diri. Lembaga itu menyebutkan bahwa kepolisian dianggap sebagai lembaga terkorup dalam kaitan dengan pelayanan publik. Dari 1000 responden 53 persen menyatakan diminta untuk membayar suap saat berurusan dengan polisi. Ironis karena seharusnya Polri menjadi institusi pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat.

Apa yang dilakukan oleh KPK dalam menjegal Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri dengan mengumumkannya sebagai tersangka, adalah sesuai dengan harapan publik: bahwa Polri akan bisa menjadi institusi yang bersih jika pucuk pimpinannya mencerminkan hal itu. Sikap resistensi Polri seperti yang ditunjukkan selama ini hanya akan memperburuk citranya di mata masyarakat. Jika memang kasus-kasus yang terjadi di jajaran petinggi Polri adalah murni dianggap sebagai kasus individual (atau sering diperhalus sebagai ‘oknum aparat’), tindakan Polri haruslah mencerminkan hal itu. Yang terjadi saat ini justru konflik institusi dikedepankan untuk membela para oknum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline