Bak air susu dibalas air tuba, presensi petani dan urgensi profesinya nampak tak selaras dengan perbandingan seberapa banyak kebutuhan pangan masyarakat Indonesia terhadap beras dan nasi.
Kehidupan petani terlihat masih belum menjadi bagian penting bagi warga masyarakat di dalam negeri, khususnya di daerah Kecamatan Jatinangor dan sekitarnya. Hal ini pun ternyata dirasakan oleh satu lingkup profesi lainnya yang sama-sama memproduksi bahan pangan di negeri ini, yakni peternak.
Sisi kehidupan petani dan peternak bagaikan dua sisi mata uang, sama-sama mengemban beban yang cukup berat, tanggung jawab yang berkaitan langsung dengan pangan, tetapi di sisi lain masih dianggap sebelah mata oleh khalayak umum.
Saat ditemui di kandangnya, salah seorang CEO dari Gerakan Peternak Muda yang kemudian di branding ulang dengan sebutan "Young Farmer Farm," Rizky Prasetiadi atau yang sering dipanggil akrab dengan Ikiw menjelaskan bahwa, sebanyak 90% dari peternak dan petani di masa kini itu sudah tidak termasuk dalam usia yang produktif.
Hal ini kemudian menjadi inti dari permasalahan yang sering digaungkan, tak lain dan tak bukan adalah kurangnya inisiatif para pemuda untuk mengembangkan sisi regenerasi dan ketertarikan dari bidang pertanian serta peternakan.
Ikiw menambahkan, "Kalo dibilang semakin ditinggalkan, memang, iya. Karena stigma itu sudah melekat di dalam cakupan masyarakat, khususnya ya untuk peternak dan petani itu merupakan pekerjaan yang orang banyak mengira, masuk ke dalam kategori kelas ekonomi menengah ke bawah, gitu. Saya pernah mengalami langsung stigma yang seperti itu."
Walaupun Pemprov Jabar nyatanya sudah berusaha mengupayakan kinerjanya dalam pembentukan program "Petani Millenial," dan ikhtiar Ikiw dalam membangun rumah peternakan serta kandang domba di dekat wilayah Cileunyi dan Cibiru, Bandung, hal tersebut nyatanya masih dirasa "kurang nendang" untuk membuat masyarakat melek akan berkurangnya regenerasi petani dan peternak di era digital sekarang.
Dalam analisisnya, Ikiw sebagai pemilik rumah peternakan "Young Farmer Farm" ini mengakui jika stigma dalam profesinya cukup besar di awal-awal ia merintis usaha ini. Stigma yang diciptakan itu berasal dari asumsi masyarakat yang kebanyakan adalah orang-orang dari luar dunia pertanian dan peternakan. Mereka hanya bisa menduga-duga, tanpa mau berusaha untuk mengerti dan mencoba bidang ini.
Ikiw memaparkan jika stigma yang sering ia dengar semenjak ia berkuliah dan menekuni bidang peternakan di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran semenjak tahun 2010 lalu, ia kerap kali mendengar orang-orang berasumsi bahwa khususnya bagi kalangan peternak dan petani itu pasti akan bekerja di lingkungan yang sifatnya bau, kumuh, dan kotor, tidak higienis dan tidak rapi pemeliharaannya.
Dari sana lah ia kemudian mulai gigih untuk membuktikan bahwa stigma tersebut tidak benar adanya. Strateginya demi menciptakan rumah peternakan "Young Farmer Farm," berlandaskan dengan nilai inovasi dan kreativitas, di mana peternak dan petani bisa menjadi pionir dan pahlawan kehidupan demi terciptanya ketahanan pangan dari segi produksi karbohidrat dan protein hewani.
Selain inovasi branding yang ia ciptakan ulang dengan mengemas kandang yang bersih, pakan yang berasal dari pertanian mandirinya (rumput-rumputan yang diolah dengan apik melalui proses yang panjang dan higienis bagi pakan hewan ternaknya), Ikiw optimis jika gerakan peternak dan petani muda ini bisa mulai disebarluaskan secara masif karena urgensinya jelas dan terarah.