Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi di Tanah Papua, Perang Suci Membela Kepala Suku

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mendengar berita kisruh pemilukada di papua yagn kemudian berujung pada perang suku antara kedua pendukung masing2 kandidat mungkin langsung membuat kita teringat pada film2 berlatar abad primitif yang mempertontonkan manusia dan kehidupan masyarkat yang masih begitu loyal terhadap nilai2 primordialisme yang mereka anut. Termasuk perang (suku) yang di anggap sebagai cara yang paling sah dan jantan dalam menujukan loyalitas mereka, dalam hal ini loyalitas terhadap pemimpin.

Imajinasi seperti itu mungkin tidak terlalu berlebihan, terlebih jika kita saksikan video dalam berita yang mempertontonkan bagaimana kedua masyarakat yang betikai d tanah mutiara hitam tersebut tampak masih menggunakan teknik perang klasik, dimana kedua kelompok suku saling berhadapan face to face, dengan menggunakan senjata tradisional dan teriakan penyemangat perang khas kelompok atau suku mereka. Selanjutnya, korban tewas dalam perang atau konflik tersebut kemudian mereka bakar. Pembakaran mayat ini dimaksudkan sebagai betuk persembahan kpd arwah leluhur mereka yang mejaga mereka selama perang berlangsung. Dan perang tersebut adalah betuk dukungan terhadap pimpinan mereka yang akan berlaga di pemilukada.

Itulah papua. Sebuh daerah paling timur bagian NKRI. Tanpa bermaksud mendiskreditkan, bahwa kenyataan hingga kini masih primitif, terbelakang, berbeda dengan sebagian besar wilayah lain di indonesia. Hingga kemudian tidak heran jika di perdengarkan sebuah istilah keren dari abad modern ke telinga rakyat papua, demokrasi, mereka lantas lebih memilih demokrasi cara mereka sendiri, perang. Itulah demokrasi ala papua, demokrasi masyarakat primitif.

Tehitung sejak di berlakukanya sistem pemilukada untuk memilih kepala daerah secaralangsung beberpa tahun yang lalu, sejak itu pula telah terjadi beberapa konflik horizontal yag berkaitan dengan pesta demokrasi ini. Hampir bisa di pastikan setiap gelaran pemilukada di beberapa daerah papua berberahir kisruh yagn berujung bentrok antara massa pendukung masing2 kandidat.

Mungkin tidak terlalu sulit mendiagnosa penyebab seringnya terjadi kisruh dan bentrok akibat pemilukada di papua ini, mengingat kondisi masyarakat yang sebagian besar tidak tersentuh pendidikan yang layak, hingga kemudian mereka lebih memilih loyal pada hukum tradisional dan hukum adat ketimbang hukum positif yang berlaku di NKRI, maka kesimpulnya bahwa masyarakat papua memang masih terlalu prematur untuk hidup dalam tatanan bingkai demokrasi. Bayangkan, betapa rentan maysarkat primordial seperti ini mendapat provokasi dari pihak berkepentingan yang mengatasnamakan loyalitas terhadap nilai primordialisme, yang tega melencengkan makna demokrasi menjadi perang suci.

Daan lagi-lagi, kita tidak punya banyak pilihan selain menuntut pemerintah untuk memberikan perhatian lebih intens dan komprehensif pada wilayah NKRI paling timur ini. Terutama soal pendidikan. Ini penting, untuk memastikan bawha di kemudiann hari masyarakat papua akan lebih familiar dan wellcome dengan istilah demokrasi hingga tidak mudah di handle dan di provokasi oleh pihak tertentu dan kepentingan tertentu. Pendidikan itu pula jalan satu2nya untuk meluruskan mindset dan paradigma masyarakat papua bahwa demokrasi adalah dari rakyat dan untuk rakyat bukan perang suci membela kepala suku.

Pilihan lain mungkin agak berbau pesimistik. Yakni tidak perlu memaksakan menjalankan sistem demokrasi yang masih belum sesuai dengan kultur di daerah papua ini. Dengan kata lain biarkan masyarakat papua menjalankan sistem birokrasi mereka sendiri yang sesuai dengan kultur dan tingkat kematangan masyarakat papua. Atau bahasa jelasnya, biarkan saja papua merdeka. Minimal langkah ini lebih “human right” ketimbang mempertahankan papua sebagai wilayah NKRI, tapi tidak memperdulikan kehidupan masyarkat dan kesejahteraan sosial disana. Karena kalau begini, lantas apa bedanya indonesia dengan penjajah belanda tempo dulu yang hanya mengeruk hasil bumi indonesia tanpa memperdulikan kesejahteraan masyarakat indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline