Hidup di kota besar seperti Jakarta, tidak selalu mudah. Secara ekonomi, memang banyak peluang yang bisa direngkuh, tetapi tidak sedikit saluran untuk "membuang" pendapatan itu. Semakin tidak bijak dalam mengatur pendapatan, maka berapapun yang diterima raib tanpa jejak.
Saya sendiri mengalami fenomena ini. Saya datang ke Jakarta sebagai perantau. Dalam 10 tahun terakhir saya mengakui Jakarta menawarkan ragam penghasilan. Asal mau bergerak, peluang itu akan menghasilkan. Bahkan tidak hanya berasal dari satu sumber.
Namun demikian, Jakarta juga memberikan tawaran lain yang menggoda pendapatan kita dan memberikan banyak tekanan. Tekanan yang tinggi berpengaruh pada kesehatan fisik dan psikis. Ujung-ujungnya, bisa menjadi sumber pengeluaran baru.
Jakarta adalah kota yang relatif kecil. Sebenarnya, tidak ada daerah yang jauh dan sulit untuk dijangkau. Namun, karena lalu lintas yang padat ditambah cuaca yang panas dan terpolusi, berkendara 2 km saja tampak seperti ajang uji nyali.
Belum lagi perilaku pengendara, baik motor maupun mobil, yang memacu kendaraannya dengan cepat dan bermanuver tanpa mempedulikan pengguna jalan lainnya. Dari cara mengemudi tampak bagaimana kompetitifnya hidup di kota seperti Jakarta.
Ada banyak usaha yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah untuk memperbaiki kualitas hidup di Jakarta. Mulai dari peningkatan jaringan infrastruktur sampai pelayanan publik kemasyarakatan seperti pendidikan dan kesehatan. Namun hasilnya masih jauh dari harapan.
Tidak mudah memang, karena prosesnya menuntut perubahan dari perilaku masyarakat. Itulah mengapa, hasil survei Mercer tahun 2018 yang dirilis di websitenya menunjukkan Jakarta menempati peringkat 142 dari 231 kota di dunia sebagai kota dengan kualitas hidup terbaik.
Peringkat pertama diraih Wina yang mempertahankan posisinya selama 9 tahun berturut-turut. Sedangkan kota terburuk adalah Baghdad, Ibu Kota Irak yang belum juga bangkit sejak invasi Amerika Serikat. Posisi Jakarta di Asia Pasifik cukup membuat kita menggelengkan kepala.
Kualitas hidup tetangga kita jauh lebih baik, seperti Singapura (25), Kuala Lumpur (85), Bangkok (132), Manila (137). Semakin jauh jika dibandingkan Auckland (3), Sydney (10), Wellington (15), Melbourne (16), Tokyo (50), Hong Kong (71), Seoul (79), Taipei (84), Shanghai (103), dan Beijing (119).
Rilis Mercer ini cukup relevan dengan kondisi yang saya alami sendiri selama hidup di Ibu Kota Indonesia. Karena dalam melakukan survei, Mercer menggunakan kriteria, seperti stabilitas politik, perawatan kesehatan, pendidikan, tingkat kejahatan, rekreasi dan transportasi. Kriteria ini pulalah yang saya pikir masih menjadi pekerjaan rumah untuk Jakarta.
Melihat kondisi seperti ini, apakah kita harus menunggu saja? Apakah sampai umur kita selesai, kualitas hidup yang kita impikan terwujud di Jakarta?