Isu penerapan isu ganjil genap tidak pernah redup. Di awal kemunculannya, kontroversi tentangnya terus menyeruak. Semakin meluas dibicarakan banyak orang seiring penerapannya yang semakin diperluas. Apalagi saat ini, kebijakan ganjil genap semakin menarik perhatian karena wilayahnya jauh lebih luas demi kelancaran mobilitas para atlet yang akan berkompetisi di Asian Games 2018.
Kebijakan ini juga menarik perhatian saya. Sebagai orang yang tinggal di Jakarta, banyak sedikit kebijakan ini berdampak pada saya. Namun, yang lebih menjadi perhatian saya adalah istilah ganjil genap itu sendiri.
Mengapa istilah yang dipakai bukan genap ganjil? Mengapa harus ganjil genap, apakah ada aturan bakunya? Apakah ini soal persepsi yang sudah terlanjur terpublikasi sehingga diterima umum sebagai sebuah istilah resmi?
Menurut saya penggunaan istilah atau cara kita berbahasa, terkait dengan budaya. Pilihan kata yang kita lakukan menjadi cerminan pembawaan diri kita. Mungkin inilah yang dinamakan dengan sosiolinguistik, di mana bahasa tidak didekati atau dilihat sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik stuktural, melainkan dilihat sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat manusia.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.
Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
Hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, dua buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.
Atas dasar itulah, saya merasa yakin pilihan kata yang kita gunakan dalam batasan tertentu menjadi gambaran budaya yang kita bawa. Istilah ganjil-genap dipilih karena kita memiliki kecenderungan untuk berpikir negatif atau pesimis. Hal yang mirip saat kita lebih memilih menggunakan kurang-lebih bukan lebih-kurang. Padahal saat menuliskan simbolnya, kita cenderung membuat tanda tambah dulu baru tanda minus di bawahnya.
Bagaimana saat kita berinteraksi dengan orang lain. Banyak di antara kita memiliki kecenderungan untuk menunjuk diri sendiri dulu baru orang lain saat berinteraksi. Contohnya, "Yang akan pergi ke Jepang besok adalah saya, Cisco, Pety, dan kamu." Walau inti pesan yang ingin disampaikan sama tapi kita tidak memilih kalimat, "Yang akan pergi ke Jepang besok adalah Cisco, Pety, kamu dan saya." Sebagai perbandingan, dalam bahasa Inggris akan dikatakan, "The ones going to Japan are Cisco, Pety, you and me."
Saya sendiri sampai saat ini menggunakan istilah genap-ganjil. Bukan untuk gaya-gayaan atau waton bedo. Tetapi mencoba melihat dan merasakan, apa yang membuat berbeda saat saya menggunakan genap-ganjil, bukan ganjil-genap. Sejauh ini yang saya rasakan adalah ada pengaruh dalam sudut pandang. Saat penerapan ganjil-genap diberlakukan, reaksi sepintas adalah menolak karena dilihat dari sisi negatif yakni merepotkan, bikin susah, dan seterusnya.
Tapi saat menggunakan istilah genap-ganjil, penilaian subjektif saya adalah melihatnya dari sisi positif. Kebijakan ini memang memiliki konsekuensi pada aktivitas kita pada umumnya, tetapi jika dilihat dari sisi positif kebijakan ini akan memberikan manfaat yang lebih besar karena mempengaruhi suksesnya Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018.