Kebutuhan primer, sekunder dan tersier adalah 3 hal yang tidak asing bagi kita. Khususnya bagi kita yang hidup dalam pendidikan di era Orde Baru. Di usia Sekolah Dasar, kita dituntut untuk memahami bahwa manusia memiliki 3 kebutuhan primer yang harus dipenuhi, yakni pangan, sandang, dan papan.
Dulu saya berpikir, untuk menjadi manusia yang seutuhnya, maka harus bisa makan, berpakaian dan memiliki rumah. Namun pada kenyataannya, tidak semua teman-teman saya memenuhi ketiganya. Termasuk saya. Tentunya ada banyak yang bisa makan. Untuk berpakaian, itu sudah pasti. Tapi untuk memiliki rumah sendiri, jelas tidak dengan sendirinya. Keluarga saya pun waktu itu masih numpang di rumah pakde.
Entah pikiran dari mana, saya mengambil kesimpulan kalau ada teman yang bisa memenuhi pangan, sandang dan papan berarti dia adalah orang kaya. Pemikiran yang sangat sederhana dari seorang bocah SD. Padahal, ini baru membicarakan kebutuhan primer. Kalau primer beres saja sudah dibilang orang kaya, bagaimana dengan mereka yang telah mencicipi ragam fasilitas tersier?
Kini, setelah 20an tahun berlalu, ternyata apa yang saya pikirkan itu masih relevan. Untuk batasan tertentu, mereka yang berhasil punya rumah sendiri masuk dalam kriteria orang kaya. Saya katakan relevan, karena masih banyak penduduk Indonesia yang tidak memiliki rumah.
Data Kementerian Keuangan tahun 2017 sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, hanya 40 persen dari 250 juta penduduk Indonesia yang mampu membeli rumah tanpa bantuan pemerintah. Lalu, 40 persen lainnya mampu membeli tetapi mendapat bantuan dari pemerintah. Dan sisanya, 20 persen atau sebanyak 50 juta lainnya tidak dapat membeli rumah sekalipun ada subsidi.
Menurut Sri, kita setidaknya membutuhkan perumahan 800 ribu hingga satu juta unit per tahun. Namun, dari jumlah tersebut, yang bisa terpenuhi hanya 60 persen. Artinya, terjadi backlog atau kekurangan pasokan sekitar 400 ribu per tahun. APBN untuk memenuhi kebutuhan itu terbatas.
Bagaimana dengan di Jakarta? Ternyata data dari BPS tahun 2016 menunjukkan, separuh penduduk DKI Jakarta atau 48,91 persen penduduk tidak mempunyai bangunan atau rumah atau tempat tinggal milik sendiri. Inilah realitas yang dialami negara kita sekalipun sudah 72 tahun merdeka. Rumah atau papan yang harusnya menjadi kebutuhan dasar tetapi kenyataannya menjadi barang yang mewah, bahkan untuk rumah sederhana.
Melihat realitas ini tampaknya kita sepakat kalau rumah menjadi persoalan bersama yang patut disikapi serius. Pemerintah sendiri sudah menunjukkan usahanya untuk mengatasi kekurangan perumahan melalui program 1 juta rumah. Selain itu, pemerintah menggandeng swasta untuk bersama-sama mengatasi persoalan ini. Berikutnya yang harus turun tangan adalah diri kita sendiri. Kita harus punya tekad dan usaha lebih untuk melecut diri sendiri supaya memiliki rumah.
Usaha swasta sangat jelas terlihat dari berbagai perhelatan pameran rumah. Ada banyak program menarik ditawarkan supaya banyak masyarakat berminat membeli rumah dan dibantu untuk memilikinya. Salah satu lini swasta yang memberikan bantuan bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki rumah adalah Maybank.
Sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia dan memiliki jaringan di luar negeri, Maybank memiliki layanan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Fasilitas ini memungkinkan kita untuk dibantu dalam membiayai pembelian ragam properti, seperti rumah, apartemen, kavling, ruko, rukan, konstruksi sampai renovasi rumah.
Ada banyak produk Maybank KPR yang ditawarkan sebagaimana tercantum di dalam websitenya www.maybank.co.id. Pertama, KPR Floating Rate yang memberikan bunga fair dan transparan dari awal kredit berdasarkan SBI 12 bulan + 3,25 persen. Bebas penalti, bebas iuran tahunan Maybank Kartu Kredit selama masa kredit.