Lihat ke Halaman Asli

Ajeng Safitri

Mahasiswa

Generazi Z dalam Era Digital: Tantangan Etika Komunikasi dan Dampak Penyebaran Informasi Palsu

Diperbarui: 15 Juni 2024   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Generasi Z, adalah individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, mereka hidup dalam era digital yang dipenuhi dengan beragam platform komunikasi. Dalam menghadapi tantangan komunikasi yang semakin kompleks, penting untuk memahami dan menerapkan etika komunikasi yang tepat. Etika komunikasi mencakup kesadaran akan dampak dari kata-kata dan tindakan mereka dalam ruang digital, penghargaan terhadap privasi dan keamanan informasi, serta kemampuan untuk berkomunikasi secara empatik dan inklusif.
 
Generasi Z juga tumbuh dengan teknologi yang memudahkan akses terhadap informasi dan interaksi sosial, namun sering kali kurang memperhatikan pentingnya privasi dan keamanan data. Mereka perlu menyadari risiko yang terkait dengan berbagi informasi pribadi secara online dan mengembangkan kebiasaan yang baik dalam mengelola privasi mereka.Mereka terbiasa dengan penggunaan media sosial dan platform digital sebagai sumber berita dan interaksi sosial. Namun, keterbiasaan ini juga membawa risiko, terutama dalam hal penyebaran informasi palsu atau hoaks.
 
Mereka juga seringkali terlibat dalam komunikasi melalui media sosial, pesan instan, dan platform lainnya tanpa menyadari potensi dampak dari kata-kata dan tindakan mereka. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk memahami bahwa apa yang mereka bagikan atau komentari dapat memiliki konsekuensi yang signifikan. Misalnya, penyebaran informasi palsu atau konten yang merugikan secara sosial dapat menyebabkan kerusakan pada reputasi seseorang atau kelompok.
 
Salah satu faktor yang menyebabkan Gen-Z rentan terhadap hoaks adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya memverifikasi kebenaran informasi sebelum membagikannya. Dalam dunia yang dipenuhi dengan informasi yang terus mengalir, seringkali informasi palsu dapat dengan mudah disamarkan sebagai berita yang sah atau berita viral yang menarik perhatian. Gen-Z, yang sering mengandalkan media sosial sebagai sumber berita utama, mungkin tidak memiliki keterampilan kritis yang cukup untuk membedakan antara informasi yang benar dan yang palsu.
 
Selain itu, tekanan untuk terus berpartisipasi dalam percakapan online dan memperoleh apresiasi dari rekan sebaya dapat mendorong Generasi Z untuk membagikan informasi tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Dalam upaya untuk tetap terhubung dan relevan di dunia digital yang begitu cepat berubah, kebutuhan akan 'momen' yang viral atau konten yang kontroversial seringkali lebih diutamakan daripada keakuratan informasi yang dibagikan.
 
Penyebaran informasi palsu atau hoaks dapat memiliki dampak yang merugikan yang melampaui sekadar kebingungan. Pertama-tama, ketika orang-orang sulit membedakan antara fakta dan fiksi, hal itu dapat mengganggu proses pengambilan keputusan yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam konteks kesehatan, informasi palsu tentang pengobatan atau vaksin dapat mengarah pada keputusan yang tidak bijaksana, berpotensi membahayakan kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Kedua, ketika hoaks menciptakan konflik atau ketegangan antara kelompok-kelompok, dampaknya bisa sangat serius. Hal ini bisa memicu kerusuhan, perpecahan sosial, atau bahkan kekerasan. Terutama dalam situasi yang sudah tegang, seperti konflik antar-etnis atau politik, informasi palsu dapat menjadi bahan bakar yang sangat berbahaya. Ketiga, dalam konteks opini publik, penyebaran informasi palsu dapat menyebabkan ketidakpercayaan terhadap institusi atau pemimpin, serta mempengaruhi arah kebijakan publik. Hal ini bisa menghambat upaya-upaya untuk menangani isu-isu penting seperti perubahan iklim, kesehatan masyarakat, atau keadilan sosial. Oleh karena itu, penting untuk memahami risiko yang terkait dengan hoaks dan bekerja sama untuk memerangi penyebaran informasi palsu dengan pendidikan, literasi digital, dan upaya-upaya untuk mempromosikan kebenaran dan kepercayaan yang kuat dalam masyarakat.
 
Untuk mengatasi tantangan ini, penting bagi Generasi Z untuk mengembangkan keterampilan kritis dalam memilah informasi, memverifikasi kebenaran informasi sebelum membagikannya, dan memahami dampak dari tindakan mereka dalam ruang digital. Pendidikan tentang literasi media dan kritis yang disertai dengan kesadaran akan etika komunikasi online dapat membantu mereka menjadi pengguna yang lebih bertanggung jawab dan cerdas dalam dunia digital yang semakin kompleks.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline