Lihat ke Halaman Asli

Hustika U. Isa

Mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo

Menilik Proses Pemilihan Umum di Indonesia yang Dinilai Belum Adil

Diperbarui: 14 Maret 2024   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://images.app.goo.gl/FjPo1gq1HvmzidcV6Input sumber gambar

Hustika U. Isa

Mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo.

Matakuliah : Penulisan Karya Ilmiah

Dosen Pengampuh : Dr. Arifin Suking S.Pd,M.Pd

Teks Eksposisi

Pemilu merupakan singkatan dari pemilihan umum, yaitu proses demokratis di mana warga negara memilih para pemimpin atau wakilnya dalam suatu negara. Proses ini dilakukan secara berkala sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan merupakan hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan arah kepemimpinan negara. Pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa pengertian pemilu adalah proses pesta demokrasi yang dilakukan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Pemilu ini diadakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan bertanggung jawab. Selain itu, pemilu di Indonesia juga diawasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas untuk melaksanakan, mengatur, dan menyelenggarakan pemilu sesuai dengan peraturan yang berlaku

Dalam karya ilmiah ini, penulis akan menilik secara mendalam proses pemilihan umum di Indonesia, dengan fokus pada aspek-aspek yang dinilai belum adil. Analisis akan dilakukan melalui pengumpulan data dan informasi terkini, serta pembahasan teoritis yang relevan. Tujuan dari karya ilmiah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam menjaga keadilan dalam proses pemilihan umum di Indonesia, serta aspirasi generasi milenial untuk perbaikan di masa mendatang.

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai bahwa sistem pemilu di Indonesia masih lemah. Hal ini ditandai dari belum terciptanya pemilu yang benar-benar jujur dan adil. Padahal, prinsip pemilu, yaitu "langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil" adalah cerminan dari negara yang konstitusional. "Saya kira memang kecenderungan untuk tak jurdil itu kan memang ada," kata Refly dalam sebuah diskusi berjudul "Jalan Pasti Sistem Politik dan Pemilu Indonesia", di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (5/8/2019). Menurut Refly, seharusnya sistem pemilu di Indonesia mampu melakukan dua hal utama.

Pertama, sistem diharapkan dapat mencegah praktik ketidakadilan dan ketidakjujuran pemilu.
Kedua, sekalipun tidak tercipta ketidakadilan dan ketidakjujuran, seharusnya ada komponen penegak hukum yang efektif.
 
"Unfotunately, kita tak punya keduanya," ujar dia. Refly mencontohkan, tidak adanya prinsip pemilu yang jurdil dan penegak hukum yang efektif melahirkan adanya politik uang. Banyak terjadi di daerah, calon legislatif yang telah membina konstituen selama bertahun-tahun, dikalahkan perolehan suaranya oleh caleg yang menggunakan 'serangan fajar'. Namun, atas hal ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang seharusnya mampu ambil tindakan pun tak bisa banyak berbuat. "Kita menyaksikan ironi yang luar biasa, orang yakin sekali pemilu kita banyak kecurangan, masih banyak praktik-praktik money politics, tapi hampir tidak ada mereka didiskualifikasi karena faktor-faktor tersebut," kata Refly. Untuk menyelesaikan persoalan ini, menurut Refly, harus ada efektivitas penegakan hukum. Mata rantai penegakan hukum pemilu harus dipangkas supaya tidak terlalu panjang dan berbelit. Sebab, jika sistem penegakan hukum terlalu panjang, justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. "Salah satu penegakan hukum yang solid, harus single dia, tak boleh institusi yang terlibat itu terlalu banyak. Karena apa, satu keputusan institusi bisa dibatalkan institusi lainnya," kata Refly Harun.

Auliya Rahman Isnain, S.Kom., M.Cs., Pakar Bidang Text Mining Tim Kelompok Keilmuan Data Science Universitas Teknokrat Indonesia. Berdasarkan analisis publik tentang Pilkada serentak 2024 di Twitter, pengguna media sosial ini memberikan jawaban yang beragam. Beberapa dari mereka positif sementara yang lain negatif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline