Lihat ke Halaman Asli

Fazakece18

mahasiswa

Adanya Kaitan Antara Teori Spiral dengan Peristiwa Krisis Moneter dan Reformasi 1998

Diperbarui: 25 Desember 2023   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Teori spiral sendiri adalah gabungan dari dua teori yaitu teori linier dan teori siklus sealain berpatokan dengan masa lampau teori ini juga berpatokan kepada roda nasib yang berputar menurut teori ini perputaran fenomena itu tidak berhenti pada satu titik saja ,tetapi berjalan seiring berjalannya waktu.

Peristiwa Mei 1998 berawal dari krisis ekonomi akibat merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada 8 Juli 1997. Penurunan nilai tukar menjadi efek domino, menyebabkan banyak perusahaan bangkrut dan jutaan orang kehilangan pekerjaan.

Ketika krisis keuangan terjadi di Thailand sekitar Bulan Mei 1997, pemerintah sangat yakin bahwa krisis baht tidak akan berpengaruh terhadap rupiah. Kondisi ini tidak berbanding lurus dengan kondisi utang luar negeri pemerintah dan swasta.

Dilihat dari struktur utang luar negeri negara ASEAN yang tercatat pada akhir tahun 1996, utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai 109,3 miliar dollar AS atau 48 persen dari Gross Domestic Product (GDP). Angka ini jauh lebih besar daripada pemerintah Thailand yang mencapai 76,5 miliar dollar AS atau 43 persen dari GDP.

Pada tahun 1998 tanda-tanda krisis ekonomi tampak jelas ketika perekonomian Indonesia mulai goyah dan tidak mampu mengatasi krisis moneter (keuangan). Akibat krisis ini sebanyak 786 pengembang anggota Real Estate Indonesia tumbang mengakibatkan berbagai proyek strategis mengalami penundaan.

Krisis ekonomi semakin terasa dampaknya di masyarakat setelah terjadi pengetatan kebijakan keuangan. Sistem ekonomi Indonesia kewalahan dan sebanyak 16 bank harus dilikuidasi. Morat-maritnya perekonomian berdampak terhadap naiknya harga-harga bahan pokok makanan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan baik dari dalam maupun luar negeri yang memicu terjadinya kerusuhan di berbagai daerah di Indonesia.

Untuk menyelamatkan perekonomiannya Indonesia meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pada Oktober 1997. Pinjaman angsuran pertama senilai tiga miliar dollar AS turun pada November 1997 beserta paket program pemulihan ekonomi yang disyaratkan IMF. Kepercayaan pasar dan dunia terus merosot, mengakibatkan kesepakatan itu ditegaskan dalam nota kesepakatan (letter of intent) yang ditandatangani Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus, 15 Januari 1998.

Penandatanganan kesepakatan dengan IMF belum menyelesaikan persoalan ekonomi. IMF terkesan menunda pencairan bantuan kepada pemerintah RI. Pencairan pinjaman angsuran kedua senilai tiga miliar dollar AS pertengahan Maret 1998 diundur karena Indonesia dinilai belum melaksanakan reformasi.

Pengamat Ekonomi Rizal Ramli, Didiek Rachbini dan Pengusaha Probosutedjo di sela-sela pelaksanaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) pada 16 Februari 1998 menyatakan, apa yang dikehendaki IMF di Indonesia tidak jelas. IMF menuntut macam-macam tapi pencairan dana bantuan yang dijanjikan sangat lamban.

Pencairan pinjaman untuk Indonesia yang terkesan lamban bukan tanpa alasan. Amerika Serikat meminta IMF untuk menunda pencairan ke Indonesia untuk melindungi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia.

Dengan mengangkat isu-isu seperti pelanggaran HAM, penculikan para aktivis, dan operasi militer di Aceh, Irian Jaya, dan Timor-Timur, Amerika Serikat berharap sistem ekonomi dan politik Indonesia lebih transparan dan efisien. Dalam konteks ini Soeharto dipandang sebagai hambatan karena cenderung memproteksi keluarga dan orang-orang terdekatnya secara berlebihan .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline