Soto, alias Coto, alias Sauto, alias Tauto, adalah makanan khas Indonesia. Tapi benarkah soto berasal dari Nusantara asli?
Menurut beberapa literatur, soto adalah adaptasi dari masakan Cina bernama Caudo. Caudo diadaptasi dengan bumbu dan rempah lokal, daging, jeroan, kaldu, dan sayuran khas daerah tertentu.Â
Menurut sejarawan Fadly Rahman, soto adalah panganan rakyat bukan "bangsawan". Berbagai macam soto memiliki kesamaan yaitu pemakaian jeroan, mencirikan bahwa makanan ini adalah panganan khas rakyat.
Tauto Pekalongan adalah bukti kuat bahwa makanan ini diadaptasi dari kuliner Cina. Dalam tauto Pekalongan, ada bihun putih, irisan daging sapi atau kerbau, bisa menggunakan jeroan lidah sampai usus, bumbu tauco, dan kaldu.Â
Bihun putih sendiri merupakan makanan yang dibawa para pedagang Cina, pada abad ke 18 hanya warga Tionghoa yang memiliki kemampuan dan alat untuk membuat mie dan bihun.Â
Sedangkan jeroan sapi dan daging kerbau adalah panganan warga lokal Pekalongan. Tauto Pekalongan dijual oleh orang orang Tionghoa yang berkuncir (Tauchang), tauto dijual keliling kampung dengan cara dipanggul, biasanya yang memanggul adalah asisten penjualnya yang kebanyakan warga lokal Pekalongan.Â
Tauto dipanggul keliling kampung, menggunakan panggulan dari bambu, seng untuk tempat, tanah liat untuk wadah tauto, dan bakaran kayu sebagai bahan bakar pemanas. Sampai akhir 70 an, masih banyak penjual Tauto yang memanggul dagangan keliling kampung, dan rasa Tauto yang otentik bisa kita coba di Tauto Tjarlam, Kunawi, Damudji, dan yang lainnya.
Benar benar beruntung, pada Jumat (16 November 2018), saya mencoba Tauto Pekalongan Tjarlam. Siang itu Pekalongan benar benar panas bagi saya, sinar matahari terik sekali. Ketika memasuki kios makanan Tauto Tjarlam, hawa panas bertambah karena tungku perapiannya begitu besar dan ruangan makannya kecil. Tapi yang lezat sangat mudah dinikmati apapun kondisinya.Â
Menurut Antropolog UGM, Dr Lono Simatupang, Soto adalah bukti akulturasi multikultural di Jawa, ada unsur makanan Cina, India, bahkan Jawa. Apa yang spesial? Perbedaan yang melahirkan kenikmatan.Â
Bahwa sebenarnya, nenek moyang kita sudah "kawin" budaya, perbedaan tercipta untuk saling melengkapi satu sama lain. Ada harmoni dari berbagai perbedaan, bagaimana cara kita mengolahnya? Apakah akan jadi semangkuk Tauto yang nikmat? Atau semangkuk kotoran yang menjijikan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H