Suara merdu dari Surau.
Pertanda dia harus melangkah; beribu langkah, mencari nafkah.
Menapaki jalan beraspal, melewati rusun kumuh.
Jalanan masih lengang.
Dia jajakan tisu di dekat tempat penyeberangan.
Saat lampu merah hadir, dia tawarkan tisu-tisu.
Hanya dua ribu rupiah.
Mentari mulai menampakkan dirinya,
cahayanya jatuh dikeningnya; terlihat berkilau tetes keringat.
Kulit keriputnya, semakin terlihat.
Tetapi, senyumnya sungguh merekah,
tak pernah patah.
Mentari mulai ingin bersembunyi, karena waktu akan berganti.
Perlahan, semburat jingga mulai terlihat,
menemani jalan pulangnya.
Langkahnya mulai gontai,
karena lelah sudah mendera.
Dia rogoh saku celana, hanya sepuluh ribu rupiah yang ada.
Senyumnya tetap merekah.
"Cukup untuk makan esok hari," katanya.
Sembari mengeluarkan sehelai tisu, Â menyeka wajah letihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H