Mohon tunggu...
Eva Rahayu
Eva Rahayu Mohon Tunggu... -

Gadis remaja yang penuh rasa keingintahuan, kritis, gemar membaca, menulis, dan penyuka seni fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar dari Amerika…

5 Mei 2012   06:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:40 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba saya teringat percakapan singkat saya dengan teman saya yang di Amerika. Sejak tahun lalu, dia mengikuti sebuah program pertukaran pelajar yang dikelola oleh yayasan Bina Antarbudaya yang bermitra dengan AFS Intercultural Programs. Selama setahun di Amerika, dia tinggal dengan host Momnya yang berkewarganegaraan Amerika.

Percakapan kami memang tak berlangsung lama, karena kami memang tidak ada rencana dan saya pun saat itu harus menemani kakak saya yang akan bepergian. Namun dalam percakapan itu, saya mencatat empat poin utama dari percakapan kami yaitu mengenai ujian nasional, cerita singkat tentang host Momnya, donor organ, dan pengangguran di Amerika.

Dia memulai dengan menanyakan nasib saya dan teman-teman saat ujian nasional mendera. Saya pun mulai mengeluhkan mengenai pengerjaan soal yang kurang memuaskan. Bagaimana tidak, di sekolah saya yang menggunakan sistem IGCSE untuk kelas sepuluh dan sebelas, membuat saya harus terpontang-panting mengejar ketinggalan mempelajari seluruh materi KTSP SMA.  Alhasil, materi KTSP SMA pun seluruhnya saya pelajari di kelas dua belas dalam waktu kurang dari setahun.

Andai saja sistem pendidikan di Indonesia tidak harus menuntut untuk mempelajari keseluruhan materi seperti di Amerika atau negara-negara lain yang menerapkan sistem learn what you like. Saya pikir bagus saja ujian nasional sebagai standar pendidikan secara nasional. Namun alangkah lebih baik lagi jika ujian nasional itu hanya diperuntukkan untuk mata pelajaran yang kita suka. Dari kecil, sistem pendidikan Indonesia sudah menerapkan untuk mempelajari banyak hal. Lihat saja anak sekolah dasar yang tak bisa menikmati masa-masa bermainnya karena harus les ini itu. Jika Indonesia bisa menerapkan sistem mempelajari hal-hal yang hanya kita sukai, tentu akan ada lebih banyak waktu untuk kita mengembangkan sisi-sisi lain dari kita.

Bagi saya, ujian nasional kemarin merupakan momok dan sebuah tantangan tersendiri. Di tengah-tengah gencarnya isu-isu ketidakjujuran di luar sana, kami yang ngebut mempelajari KTSP SMA kurang dari satu tahun ini harus bertarung sendirian. Ya, karena kami terbiasa untuk jujur dan mengerjakan ujian kami dari hasil kerja kami sendiri. Sedikit hal yang membuat saya sedikit respect terhadap sistem ujian nasional kali ini, sebuah ikrar yang tertera dalam lembar jawaban ujian nasional. Terlintas dalam benak saya, mungkin ini adalah sebuah pembelajaran anti-korupsi sejak dini. Maka memang selayaknya saya ingin menyukseskan program tersebut. Entah bagaimana di luar sana, namun saya masih berharap akan adanya keadilan.

Tak ingin terlalu membahas masa suram ini, maka saya pun mengalihkan topik menanyakan cerita baru darinya. Dan dengan bersemangat dia mulai cerita tentang host Momnya yang mengajaknya ke sebuah konser. Sialnya, konser tersebut merupakan konser rohani dari umat Kristiani yang disertai dengan khotbah. Dia menceritakan hal itu dengan nada kesal karena dia tak menduganya. Bagaimanapun juga, sekalipun dia tak pernah mau untuk ikut host Momnya ketika diajak ke gereja. Namun kali ini dia salah perhitungan dan dia hanya bisa berdiam menahan kesal dalam diri.

Pembicaraan pun berlanjut mengenai topik panas hilangnya organ tenaga kerja Indonesia yang meninggal di Malaysia. Namun kami tak terlalu lama membahas topik ini dan kami pun terdiam sejenak.

Puncaknya, dia tersadar bahwa dia ingin menceritakan pengalaman community servicenya di sana. Dalam kegiatannya itu, dia membantu seorang aktivis yang setiap hari memberikan makan dan tempat tinggal gratis bagi gelandangan-gelandangan di Amerika. Bedanya, gelandangan di sana bukan orang yang tak punya rumah dan mengemis untuk mendapatkan uang. Di Amerika, para gelandangan pun bekerja. Dan kalaupun mereka mengemis, mereka mengemis pekerjaan bukan uang.

Jadi, rumah ungsian itu hanya digunakan untuk tempat tidur bagi mereka. Siangnya mereka keluar untuk bekerja dan mencari pekerjaan. Di sana, dia membantu untuk memasak dan kegiatan apa pun yang bisa dilakukannya di sana. Herannya, setiap hari dana untuk pengadaan makanan bagi para gelandangan selalu mengucur dan ada saja yang mengirimkan bantuan.

Terinspirasi dari itu dia pun berkata bahwa dirinya berniat untuk melakukan hal yang sama saat ia di Indonesia. Ia ingin mendirikan sebuah rumah ungsian bagi para gelandangan untuk berteduh namun mereka tetap bekerja. Secara spontan saya pun meragukan suksesnya rencana itu. Dilihat dari kenyataan selama ini, gelandangan Indonesia seringkali malas-malasan dan hanya mengandalkan dirinya untuk mengemis. Teorinya, saat diberikan bantuan, orang-orang Indonesia bukannya malah mandiri dan berkeinginan kuat untuk memperbaiki kehidupannya dengan memanfaatkan bantuan tersebut, nyatanya mereka akan semakin malas-malasan dan kurang bisa memanfaatkan bantuan tersebut secara maksimal.

Contoh sederhana. Saat dulu diadakan program dana bantuan dari pemerintah untuk siswa SMK berwirausaha, seorang siswi SMK murid tante saya kurang bisa memanfaatkannya dengan cerdas. Saat ia mendapat kucuran dana, ia membeli sebuah kulkas di rumahnya dan membuat usaha jajajan di rumahnya. Sayangnya, siswi ini tak memaksimalkan manfaat si kulkas dan hanya berpegang pada hasil penjualan dari jajanan yang dijajajakan. Cicilan awal dan kedua masih belum masalah, namun pada ketiga dan seterusnya ia mendapat kesulitan dan akhirnya ia tak bisa mengembalikan. Tentu saja, besar pasak daripada tiang. Andai saja dia bisa memanfaatkan lebih kulkasnya itu misalnya untuk jualan es atau apa sehingga tidak malah membebani tagihan listrik rumah tangganya.

Entahlah apa yang akan terjadi nanti jika program rumah ungsian ini dijalankan di Indonesia. Saya hanya berharap semoga itu berjalan dengan baik dengan managemen yang profesional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun