[caption id="attachment_409598" align="aligncenter" width="532" caption="www.infektiologie.insel.ch"][/caption]
“Bangsa kita berada dalam situasi yang krisis betul. Kita bukan sekadar melihat apakah Negara ini akan bertahan atau tidak. Apakah NKRI atau tidak, apakah Papua akan bertahan atau tidak, tapi persoalan secara keseluruhan. Kita sedang berada dalam situasi krisis pemaknaan dan kehilangan dinamika kebudayaan.” Demikianlah pernyataan menarik yang disampaikan oleh Bang Ashadi Siregar(seorang budayawan, sastrawan, novelis, dan jurnalis senior) di sela-sela wawancaranya yang tertuang dalam majalah sastra SABANA Yogyakarta, edisi perdana: Juni 2013[baca: Majalah Sabana, Menuju Bangsa Tanpa Sastra, (Yogyakarta: Perkumpulan Santrawan Malioboro, Juni 2013)hal.12]. Apa yang disampaikan oleh beliau sejatinya bukan perkara sederhana. Bangsa Indonesia –dengan segenap kelebihan dan kekurangannya- sedang menghadapi masalah serius, yang saya narasikan dengan judul: menuju bangsa tanpa . Lho kok bisa, siapa sejatinya yang bisa lepas dari makna, karena ‘tanpa makna’ adalah bermakna bahkan bagian dari pemaknaan? Memang kita tidak akan lepas dari makna, tapi ‘pemaknaan’, perlu yang namanya kesadaran. Orang tidak akan peduli terhadap makna, jika ia tidak menyadari bahwa sesuatu mempunyai makna.
Meminjam istilah Bang Hadi, ada dua idiom penting yang perlu dijelaskan sebagai dasar pijak dari problem mendasar bangsa: krisis pemaknaan. Pertama, dalam kehidupan manusia ada yang namanya ‘dunia pragmatig’. Sebagai contoh kecil: orang lapar, kemudian makan; orang mengantuk, kemudian tidur; orang kedinginan, kemudian pakai jaket atau selimut; orang sakit kemudian minum obat, dan yang semacamnya adalah proses duniawi yang bersifat pragmatis. Apakah manusia hidup cukup berhenti dalam tataran wadag itu? Ternyata tidak. Ada hal penting lagi yang dijelaskan pada poin kedua, yaitu: kebudayaan. Kebudayaan oleh Bang Hadi diartikan sebagai proses memaknai sesuatu yang pragmatig. Kegiatan pragmatig seperti makan, tidur, memakai baju, meminum obat, akan bernilai budaya jika malampaui sifat pragmatignya. Cara melampauinya adalah dengan: memaknai atau proses pemaknaan. Makan menjadi bermakna ketika meluas menjadi selamatan; tidur menjadi bermakna ketika diniati untuk ibadah; memakai baju menjadi bermakna jika dipahami sebagai menutup aurat; meminum obat akan menjadi bermakna jika untuk memperoleh kesehatan yang bisa digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Melalui dua idiom tersebut(pragmatig-kebudayaan[pemaknaan]), coba kita amati berbagai peristiwa yang terjadi di negara ini. Dari banyaknya aspek kehidupan meliputi: politik, ekonomi, pendidikan, sosial, sastra, kebudayaan, keagamaan, kesehatan dan lain sebagainya, kalau ditimbang betul-betul lebih merupakan peristiwa pragmatig atau kebudayaan? Kalau ada ustadz ceramah di TV, sejatinya dia benar-benar membawa nilai Islam sejati, atau sedangan memenuhi kebutuhan pribadi; kalau ada pejabat berkoar-koar berjuang atas dan demi nama rakyat, apakah itu betul-betul berjuang, atau ‘ber-uang’ atas nama mlarat(kemiskinan atau kepapaan)?; kalau ada orang-orang tiba-tiba peduli terhadap bencana sosial kemanusiaan, kemudian minta diliput media, apakah itu benar-benar bernilai murni kemanusiaan atau sekadar memenuhi kebutuhan pragmatig berupa sanjungan dan ketenaran?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa dikembangkan lebih luas lagi seluas aspek kehidupan manusia. Dari fakta-fakta yang ada, rupanya kita telah mengalami sebagaimana yang telah disinggung oleh Bang Ashadi Siregar di awal kutipan tulisan. Maka tidak berlebihan jika saya memberi judul tulisan ini, dengan judul: Menuju Bangsa Tanpa Makna.
Mengenai pentingnya makna, saya pernah menulis catatan sederhana terkait motto blog saya yang bisa diakses di alamat: amoehirata.blogspot.com, dengan judul: Pena Persumeya, sebuah akronim dari, ‘Pemburu Makna dalam Perjalanan Sunyi Menuju Cahaya’. Di situ dengan singkat, lugas dan jelas saya menyebutkan bahwa salah satu hal penting yang dimiliki manusia adalah kemampuan untuk memaknai. Sejak awal, manusia tidak diciptakan mengandung makna dan tujuan. Paling tidak, garis besarnya ialah untuk: ibadah. Dari kata ‘makna’, akan muncul beberapa variabel-variabel kata yang juga mendasar, yaitu: memaknai(sebagai proses mencari makana dari hal-hal yang bersifat pragmatig), dan menjadi bermakna(adalah konsekuensi sosial-religius sebagai manusia yang bermanfaat bagi lingkungannya). Bayangkan kalau manusia hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan hawa nafsunya semata, pasti ia akan tercerai dari makna awal diciptakannya. Maka kualitasnya tak lebih bahkan lebih parah dari hewan(bisa dilampiri pada: Qs. Al-A`raf, 179). Kalau kita jujur –dengan banyaknya peristiwa yang terjadi sekarang ini-, bangsa Indonesa sedang menuju pada kondisi tanpa makna. Kita benar-benar mengalami krisis pemaknaan. Sebagai contoh kecil –tanpa bermaksud membatasi contoh-contoh lain yang bisa dieksplorasi sendiri oleh pembaca pada segenap aspek kehidupan bangsa Indonesia-yang beberapa hari yang lalu menjadi trending topic di berbagai media: “Presiden tidak tahu Perpres yang ditandatanganinya”. Lha kalau sudah begini, lalu apa maknanya menjadi PRESIDEN?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H