Mohon tunggu...
Mahmud Budi Setiawan
Mahmud Budi Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Guru Ngaji Kampung

Pemburu Makna dalam Perjalanan Sunyi Menuju Cahaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Tuminah: Si Bisu Luar Biasa

13 April 2015   06:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14288807771656600407

Hari masih begitu pagi. Matahari belum menampakkan wajahnya.  Jalan masih terlihat lenggang. Hanya satu dua orang yang berlalu lalang. Suasana masih nampak begitu sepi. Ba`da shalat Shubuh, seorang wanita bisu paruh baya yang bernama Tuminah, sudah siap-siap untuk berangkat menuju tempat Pemakaman Umum desa Sumengko.  Desir dingin angin pagi seolah tak menyurutkan langkahnya untuk pergi. Dari aura wajahnya terlihat begitu semangat dan ceria luar biasa. Ia diberi amanat  warga desa Sumengko untuk menjadi bagian kebersihan di Pemakaman Umum desa Sumengko.  Hampir delapan tahun ia menjalani profesinya ini tanpa mengeluh dan dijalani dengan penuh kegembiraan. Ia bekerja setiap hari, dan baginya tiada kata libur. Selama ini yang membuatnya libur hanya satu hal yaitu, sakit. Bahkan sakit pun kalau tidak terlalu parah, maka tidak akan menghalanginya untuk pergi ke Pemakaman Umum Sumengko. Yang tersirat dari perjalanan kehidupannya sehari-hari ialah: “Tiada hari tanpa bekerja, tiada waktu untuk berleha-leha”.

Disamping sebagai tukang bersih makam, ia juga mempunyai keahlian khusus berupa memijat. Banyak orang-orang yang minta pijat padanya. Khusus keahlian dalam hal memijat, sudah ia jalani selama dua puluh tahunan lebih. Karena itu, meskipun dengan segenap kekurangan yang dimilikinya ia masih mampu survive (bertahan) di tengah orang-orang yang memiliki fisik yang berfungsi sempurna. Bahkan tak jarang ia turut membantu finansial saudara-saudaranya yang sudah berkeluarga. Tak hanya itu,  ia juga termasuk pemeluk agama Islam yang ta`at(bagi ukuran orang yang cacat sepertinya). Ajaran-ajaran Islam ia laksanakan dengan baik, meskipun ia dibatasi oleh kekurangan pendengaran dan lisan. Ia rajin shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, zakat dan sering memberi uang kepada anak-anak. Mungkin hanya itu pelajaran-pelajaran agama yang mampu ia dapatkan dari kedua orang tuanya, namun pelajaran yang ia dapatkan bisa ia amalkan dengan penuh istiqamah hingga saat ini. Di samping itu –dari sisi sosial- banyak juga orang-orang kampung yang hutang uang darinya, ketika sedang membutuhkan bantuan keuangan.

Kemudian sisi unik dari sosok Tuminah ialah ia memiliki rasa sayang yang sangat luar biasa terhadap binatang. Ia mempunyai hewan peliharaan kucing di rumahnya. Ia juga memelihara ayam di belakang rumahnya. Setiap kali ia menemukan ayam, kucing, bahkan burung yang sedang terluka atau cacat, pasti ia rawat dengan baik sampai sembuh. Kalau pun hewan yang ia rawat mati, hewan itu tidak ia buang begitu saja, tapi ia buatkan kuburan untuk peristirahatan terakhirnya. Bahkan dulu -sekitar enam tahunan-, ia juga berternak kambing, dengan suka rela dan mandiri ia mencari rumput dengan menggunakan sepeda ontel kesayangannya, untuk makanan kambing. Perlu diketahui bahwa Tuminah berternak kambing bukan untuk dijual, tapi untuk menjalankan kebiasaan rutin ibunya (Kasiah) yang setiap tahun berkurban kambing di hari raya Idul Adha. Bagi bu Kasyiah, berkurban sudah terasa seperti kewajiban. Karena itulah ketika ia sudah tua renta, dan tak kuat lagi mencarikan makan untuk kambing-kambingnya, maka yang mencari makanan untuk kambing secara penuh ialah Tuminah.

Sehari-hari –selain membersihkan pemakaman-, ia juga bekerja mengumpulkan kembang-kembang kamboja yang berjatuhan di kuburan yang kemudian dikeringkan dan dijual pada pengasong bunga kamboja. Dalam waktu satu minggu saja dari hasil pengumpulan bunga ia mampu menghasilkan seratus sampai empat ratus ribu rupiah. Apalagi jika musim bunga kamboja, maka pendapatanya semakin meningkat. Dari pekerjaan yang ia geluti, ia mampu hidup mandiri tanpa bantuan orang lain. Yang ada malah orang lain yang sering membutuhkan bantuannya. Ia mampu melakukan pekerjaan secara mandiri, cepat dan terampil yang mana jika dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki fisik yang berfungsi sempurna mungkin masih tidak ada apa-apanya.

Mungkin pembaca akan mengira bahwa ia tidak pernah mengalami cobaan yang berat dalam hidupnya. Sebagaimana manusia pada umumnya, dia juga pernah menderita dan menglami posisi yang sulit. Ia pernah menikah dengan orang yang normal, namun sungguh malang akhirnya ditinggal pergi, karena orang itu menikahinya hanya untuk mendapatkan hartanya. Beberapa tahun setelah ditinggal pergi, ia pernah diperkosa oleh salah satu penduduk kampung. Dua kali ia punya anak lantaran diperkosa, namun kesemuanya meninggal waktu masi kecil. Salah satu dari anak itu bernama Isma. Seperti yang dijelaskan tadi, ia juga suka membantu orang, dengan cara meminjami uang. Banyak yang jujur dan mengembalikan uang itu secara tepat waktu, namun tak sedikit yang memanfaatkan keluguannya. Ia sering ditipu.

Banyak yang menghutang padanya, tapi tidak mau melunasinya. Ketika ditanya oleh pihak keluarga, orang yang berhutang itu tidak mengakuinya. Keluarga sangat prihatin dengan keadaan ini, bagaimana mungkin orang yang waras dan bisa bekerja sendiri, memanfaatkan orang bisu untuk memenuhi kepentingan pribadi. Beberapa juta uangnya pun raib, terpencar-pencar dimana-mana. Sebagai manusia ia juga punya mimpi memiliki keluarga sebagaimana manusia kebanyakan. Ia juga selalu terlihat sedih ketika mengingat anak-anaknya yang sudah meninggal. Hebatnya, meskipun ia pernah mengalami kezaliman yang begitu besar dari orang, ia tetap mampu untuk bertahan dan masih menjadi wanita yang riang, semangat bekerja, dan tek pernah putus asa. Melihat sosoknya, akan terpancar energi positif yang luar biasa, yang tidak pernah menyerah dengan tantangan yang ada.

Allah memang Maha Adil. Keadilanya sungguh tak terbatas. Sekarang yang perlu dipikirkan ialah: kita yang memiliki fisik yang berfungsi sempurna apakah mampu memanfaatkan kelebihan-kelebihan yang kita miliki?. Memang secara fisik kita sempurna dibanding wanita bisu tadi. Namun, bisakah  kita menjamin bahwa kita mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti dirinya. Punyakah kita kecanggihan mental; Kemandirian profesi; ketahanan hidup; ketabahan jiwa seperti dirinya.  Yang ada mungkin kita gengsi, malu dan tidak percaya diri. Sampai ditulisnya cerita ini, Tuminah masih seperti Tuminah yang dulu. Tetap rajin beribadah, bekerja, semangat begitu luar biasa, dan tak mengenal lelah. Dari sosok kepribadiannya tercermin betul kegigihan pejuang di medan kehidupan. Pejuang yang tak pernah mengenal pamrih.

Berhasil tidaknya seseorang memang tidak bergantung pada fisik yang sempurna. Ada jarak yang demikian jauh antara keberhasilan dan kesempurnaan fisik. Tidak ada jaminan orang yang sempurna fisiknya  mesti berhasil dan yang cacat mesti gagal. Kesempurnaan fisik memang modal yang sangat berharga, tapi ia hanya akan menjadi bumerang jika hanya dijadikan pajangan dan tidak dimaksimalkan dengan baik fungsinya. Maka dari itu, tidak heran jika banyak kita dapati dalam kehidupan nyata bahwa orang-orang cacat rata-rata memiliki kelebihan unik. Ini bisa terjawab melalui ‘teknologi batin’ yang mereka miliki berupa ketabahan, apa adanya, tidak gengsi dan fokus. ‘Teknologi batin’ itulah kemudian membuat gerak mereka terarah, fokus dan mampu memaksimalkan kelebihan yang dimiliki, meski terkadang mereka tidak menyadarinya. Dari Tuminah kita bisa mengambil pelajaran berharga. Keterbatasan tidak menghalangi seseorang untuk sukses. Keterbatasan justru menjadi stimulus yang efektif untuk melejitkan potensi diri. Kalau Tuminah saja yang memiliki keterbatasn, bisa mengoptimalkan potensinya, lalu bagai mana dengan kita yang dianugerahi kesempurnaan fisik oleh Allah ta`ala?

Dalam sejarah sahabat-sahabat Rasulullah juga kita dapati orang yang cacat fisik seperti `Amru bin al-Jamuh(yang berkaki pincang), Ibnu Umi Ma`tum yang buta. Coba bandingkan dengan orang-orang yang sempurna secara fisik pada zamannya seperti Abu Jahal, Walid bin Mughirah, Abu Lahab dan lainya. Ternyata apa, meski buta Ibnu Umi Ma`tum mampu mendayagunakan segenap potensinya untuk menyerap nilai-nilai Islam dan mampu sukses meraih ‘tropi kemuliaan’ menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW. `Amru bin al-Jamuh pun di akhir hayatnya mampu meraih kehormatan syahid dengan kaki pincangnya. Sekali lagi coba bandingkan dengan Abu Jahal, Walid bin Mughirah, Abu Lahab mereka gagal memenangkan tropi menjadi sahabat karena gengsi dan takabur yang menutupi potensi ‘teknologi batin’ yang dimiliki. Kemudian bagaimana dengan kita? Mampukah kita memaksimalkan kesempurnaan fisik kita? Jawabanya ada pada diri kira masing-masing. Memang Allah tidak pernah membebani orang melainkan sesuai dengan batas kemampuanya, tapi merupakan hal yang ironis jika orang yang diberikan potensi tidak mengoptimalkan kemampuannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun