Hutan mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim global melalui potensi besarnya dalam menyerap karbon biru. Karbon biru mengacu pada karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, padang lamun, dan rawa-rawa pesisir. Sebagai ekosistem pesisir yang unik, mangrove tidak hanya berfungsi sebagai penyangga alami terhadap abrasi pantai dan badai, tetapi juga merupakan salah satu penyimpan karbon yang paling efektif di bumi. Mangrove memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon tidak hanya pada biomassa di atas tanah seperti batang dan daun, tetapi juga pada biomassa di bawah tanah seperti akar dan tanah di sekitarnya. Penelitian menunjukkan bahwa mangrove dapat menyimpan karbon hingga empat kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan daratan tropis. Karbon ini terperangkap dalam sedimen dan tetap stabil selama ratusan bahkan ribuan tahun jika tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Dalam konteks perubahan iklim, peran ini menjadi sangat krusial karena emisi karbon dioksida (CO2) yang tidak terkendali telah menjadi penyebab utama peningkatan suhu bumi. Melalui kemampuan uniknya dalam menyerap dan menyimpan karbon secara efektif, hutan mangrove dapat menjadi salah satu solusi alami yang paling ampuh dalam mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (Sulaiman, 2023). Proses penyerapan emisi karbon dioksida itu sendiri dilakukan melalui aktivitas fotosintesis pada tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, karbon diserap kemudian diubah menjadi karbon organic dan disimpan dalam bentuk biomassa pada bagian atas (daun, batang, ranting) ataupun bagian bawah (akar). Hal ini dikarenakan mangrove memiliki tingkat asimilasi dan penyerapan karbon di hampir seluruh bagian tubuhnya (ADITYAWITARI, 2021)
Selain kemampuan penyerapan karbon yang luar biasa, hutan mangrove juga memberikan kontribusi penting terhadap ketahanan ekosistem pesisir di tengah dampak perubahan iklim. Ketika suhu global meningkat, permukaan air laut ikut naik, dan intensitas badai semakin tinggi, ekosistem pesisir menjadi semakin rentan terhadap kerusakan. Mangrove berfungsi sebagai pelindung alami yang dapat menyerap energi gelombang dan mencegah erosi pantai, sehingga melindungi komunitas pesisir dari dampak buruk perubahan iklim. Tidak hanya itu, mangrove juga berkontribusi pada pengurangan risiko bencana dengan menyerap limpahan air dari badai atau banjir, yang sangat penting untuk komunitas pesisir yang sering kali berada dalam kategori rentan secara sosial dan ekonomi. Dalam hal ini, keberadaan mangrove tidak hanya penting untuk mitigasi tetapi juga untuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan mengelola dan melestarikan hutan mangrove, kita tidak hanya menciptakan solusi berbasis alam untuk perubahan iklim, tetapi juga mendukung keberlanjutan kehidupan manusia dan ekosistem pesisir secara menyeluruh (Ketaten, 2023).
Namun, potensi besar mangrove dalam mitigasi perubahan iklim sering kali tidak dimanfaatkan secara maksimal karena tekanan yang berasal dari aktivitas manusia. Deforestasi mangrove untuk kepentingan tambak, pembangunan infrastruktur, atau perluasan lahan pemukiman telah menjadi ancaman utama bagi keberlanjutan ekosistem ini. Hilangnya hutan mangrove tidak hanya berarti hilangnya kemampuan penyimpanan karbon, tetapi juga pelepasan karbon yang telah disimpan selama berabad-abad ke atmosfer, yang dapat memperburuk perubahan iklim. Menurut data dari Global Mangrove Alliance, hampir 35% hutan mangrove dunia telah hilang dalam lima dekade terakhir. Kerusakan ini tidak hanya merugikan upaya mitigasi perubahan iklim tetapi juga mengancam keanekaragaman hayati yang bergantung pada ekosistem mangrove. Mangrove adalah habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain. Oleh karena itu, upaya konservasi dan restorasi mangrove harus menjadi prioritas utama dalam agenda mitigasi perubahan iklim (Azzahra, dkk, 2020).
Strategi restorasi mangrove yang efektif memerlukan pendekatan yang holistik dan partisipatif. Salah satu strategi utama adalah reboisasi, yaitu menanam kembali mangrove di wilayah yang telah terdegradasi atau rusak. Proses ini memerlukan pemahaman mendalam tentang karakteristik ekologis wilayah tersebut, termasuk jenis mangrove yang cocok dan kondisi lingkungan seperti salinitas, kedalaman air, dan ketersediaan nutrisi. Selain itu, partisipasi masyarakat lokal juga sangat penting untuk keberhasilan program restorasi. Melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan hutan mangrove dapat memastikan bahwa inisiatif ini tidak hanya berhasil secara ekologis tetapi juga memberikan manfaat sosial-ekonomi. Misalnya, masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya mangrove untuk kehidupan sehari-hari, seperti nelayan, dapat dilibatkan dalam pengelolaan ekosistem ini dengan cara yang berkelanjutan. Pendekatan ini dapat menciptakan kesadaran dan rasa tanggung jawab bersama untuk melestarikan mangrove, sekaligus memberikan manfaat langsung bagi kehidupan mereka (Yanuar, dkk, 2023).
Selain restorasi, pengelolaan berkelanjutan hutan mangrove juga memerlukan kebijakan yang kuat dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta. Kebijakan perlindungan yang tegas diperlukan untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan deforestasi mangrove. Misalnya, penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan lindung atau taman nasional dapat memberikan perlindungan hukum terhadap ancaman yang berasal dari aktivitas manusia. Di sisi lain, sektor swasta juga dapat berperan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang mendukung konservasi dan restorasi mangrove. Misalnya, perusahaan dapat berinvestasi dalam proyek penanaman mangrove sebagai bagian dari komitmen mereka untuk mengurangi jejak karbon. Dengan dukungan yang terkoordinasi dari berbagai pihak, potensi mangrove sebagai penyerap karbon biru dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung mitigasi perubahan iklim (Adni, dkk, 2024).
Penelitian dan inovasi juga memainkan peran penting dalam memperkuat peran mangrove dalam mitigasi perubahan iklim. Teknologi pemetaan menggunakan citra satelit, misalnya, dapat digunakan untuk memantau perubahan luasan hutan mangrove secara real-time dan mengidentifikasi area yang memerlukan restorasi. Selain itu, pengembangan teknologi karbon offset berbasis mangrove dapat menjadi salah satu cara untuk menarik pendanaan untuk konservasi mangrove. Dalam skema ini, pihak-pihak yang menghasilkan emisi karbon dapat membeli kredit karbon yang berasal dari upaya konservasi mangrove. Pendekatan ini tidak hanya memberikan insentif ekonomi bagi konservasi tetapi juga mempromosikan tanggung jawab lingkungan di tingkat global. Inovasi lain yang menarik adalah penelitian tentang potensi mangrove dalam menyerap polutan lain selain karbon, seperti nitrogen dan fosfor, yang dapat mendukung pengelolaan ekosistem pesisir secara lebih holistik.
Secara keseluruhan, hutan mangrove adalah aset berharga yang harus dilindungi dan dimanfaatkan untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Dengan kemampuan uniknya untuk menyerap dan menyimpan karbon biru, mangrove dapat menjadi bagian integral dari strategi mitigasi perubahan iklim global. Namun, untuk mencapai hal ini, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat lokal hingga pemerintah dan komunitas internasional. Pendekatan yang holistik, partisipatif, dan berbasis ilmu pengetahuan adalah kunci untuk memastikan bahwa potensi besar mangrove dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk generasi mendatang. Mangrove bukan hanya sekadar hutan di pesisir, tetapi juga harapan bagi bumi yang lebih seimbang dan berkelanjutan.
Daftar PustakaÂ
Adni, S. F., Fatimah, G., Saputri, H. R., Rahmadhani, K., & Hartoyo, A. P. P. (2024). Potensi Silvofishery Sebagai Blue Carbon Reservoir dan Sumber Pendapatan Masyarakat di Desa Sawah Luhur, Banten dalam Mitigasi Perubahan Iklim: The potential of silvofishery as a blue carbon reservoir and source of community income in Sawah Luhur Village, Banten in climate change mitigation. Jurnal Silva Tropika, 8(1), 1-13.
Azzahra, F. S., Suryanti, S., & Febrianto, S. (2020). Estimasi Serapan Karbon Pada Hutan Mangrove Desa Bedono, Demak, Jawa Tengah. Journal of Fisheries and Marine Research, 4(2), 308-315.