Mohon tunggu...
Asep Romli
Asep Romli Mohon Tunggu... profesional -

...aku terlanjur merasa lumrah, dengan setiap goresan di rongga dadaku. Juga dengan segala isak telah jadi akrab. Sebab melulu dideraikan. Mungkin bukan olehmu. Tetapi kutandai kini, berondongan waktu selalu berbau bacin, berlumurkan igau, serta mimpi-mimpi yang terbentur...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Morning Coffee

20 Juli 2011   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:31 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

--pertemuan 19-01-03

Bagaimana lagi harus kudesahkan: ketakjubanku pada bening suaramu tiada susut. Seperti pucuk dedaunan merindui cahaya matahari. Seakan abadi. Namun siapa yang mengira, bila cuaca akan membeludakan kelopak lumpur. Dan ketika angin menyedekahi mataku dengan luapan asap dari langit yang hangus terbakar. Musim ini bagai diciduk menuju blok eksekusi: diperosokan di tengah hujan ledakan. Impian mulai meleleh di rambutmu sewaktu aku terpaku mendekap besukan air mata. Mendesiskan putaran jam yang seakan sia-sia. Semua gelombang telah menyatakan api ke arahku. Menggulirkan ketidakberartian dan lorong bercabang yang menyimpan nganga lembah serta jurang

Lalu yang tinggal hanyalah gumam tertahan di kerongkongan. Dan di lantai kamar masih terjuntai kalimat ganjil juga dingin. Membenturi aroma karbol dan wangi kopi yang mengendapkan serbuk sewarna karat dari perasaan yang turut menguning. Reranting dan kesegaran pohonan bulan Maret diserap desing beliung. Gosong serupa tempat-tempat yang disergap derap sengketa. Kau putar refrain dari lagu sesak berulang-ulang. Seolah meyakinkan diri bahwa yang terbaik bagi kita adalah membedaki rentang seluruh hari dengan sunyi

Kemudian, diantara derai kereta yang membawa penghuni kota dan percakapan orang-orang hendak pergi ke pasar, mata kita terkadang saling intip. Tapi ingatan terasa kian berjarak. Begitu jauh kau untuk kurengkuh

Kini, bagaimana lagi harus kudesahkan: ketakjubanku pada bening suaramu masih juga seperti dulu. Lalu siapa yang bergesa: berkumur dari rencana semula?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun