Mohon tunggu...
Asep Romli
Asep Romli Mohon Tunggu... profesional -

...aku terlanjur merasa lumrah, dengan setiap goresan di rongga dadaku. Juga dengan segala isak telah jadi akrab. Sebab melulu dideraikan. Mungkin bukan olehmu. Tetapi kutandai kini, berondongan waktu selalu berbau bacin, berlumurkan igau, serta mimpi-mimpi yang terbentur...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dis-Equilibrium

20 Juli 2011   17:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:31 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

i

Berkhidmat menatapmu, gairahku meluap; meronta-ronta bagai kelepak ombak yang telah menjelma bencana bagi ratusan kota. Seluruh ingatanku terhisap cahaya yang berkisaran pada matamu: kilau mata air begitu khusyu wiridkan sungai-sungai dan angin yang syahdu. Di situ, getar kesejukan merajam gemerincing dendam. Maka segera kuputuskan untuk lintasi segala cuaca, bersamamu. Pada angin yang syahdu itu kupercayakan arah, kupertaruhkan tirakatku. Juga mimpi-mimpi yang terlanjur membatu di paru-paru. Kita pun bergulir, seiring matahari menggelincir ke ujung sunyi. Seraya menafsir tuju pada bongkahan batu, pada lekuk wajah sejarah berliku yang dirias jejak lindu. “Ijinkan aku pergi,” katamu.

Apalagi yang kau cari. Hingga harus pergi ke tempat yang begitu jauh

Di bawah tumpahan salju, diantara letup nafas mereka yang digumuli shochu, kau berkesiur melewatkan malam-malam yang dilumur hawa gigil; meronce jam terjaga dari kuntum-kuntum sedu yang bertahun menguar dibalik runtuhan impian ibu. Bulir-bulir igaumu dibuahi oleh hasrat akan sesuatu yang ingin kuuapkan. Dan kian bergelembung ketika musim diarak-arak badai menuju lunglai. Suara apa pula yang makin riuh mengeramasi pikiran. Gaungnya bersahutan sewaktu kau aku mencumbui pusaran waktu yang geram. Ketika orang-orang berburaian mengusung keluh dari musim yang lebam. “Kau tunggulah aku,” katamu lagi.

Aku pun menghimpun segala yang tiba; kukumpulkan setiap denyut yang bergelayut di reranting usia. Perkawinan adalah undakan berbagai peristiwa. Payah sudah dicederai hunusan petaka. Kutetaskan sajak-sajak ketika kau terus menari, di sana, di bawah bebayang langit beraroma sengak. Tapi tak juga bisa halaukan serangan sesak ini. Tak kunjung sudah, Tak usai-usai menguras kesabaranku hingga serak. Aku kembali bergelindingan ke batas-batas perseteruan yang kian racau. Sampai payau tubuhku menumis penantian dan rasa lengang. Mengaduk-aduknya dengan linang kenangan: segala yang lalu dan hilang. Dan pada saat senja, selalu saja aku terkesima: kulihat kepulan asap dupa. Menandai perkabungan yang seakan dikekalkan. Serupa arca.

Apalagi yang kau cari. Hingga harus pergi ke tempat yang begitu jauh

ii

Dari setiap penantian hanya kutimba kesangsian. Begitu panjang, begitudalam. Seperti dasar sumur kepedihan tempat aku kau ceburkan. Bersama ular-ular berbisa aku melata, di situ, sampai jiwaku gimbal. Kau tak lagi ulurkan sulur-sulur cahaya, angin atau apapun yang mampu ingatkan aku pada setiap kenangan. Hingga tiba-tiba seseorang memanggilku: suaranya mirip ibu.

Pada mataku yang terkilir mengalir arus kabut. Sama sekali tak ada raut wajahmu atau bekas jejak kita di atas butiran pasir. Juga hangat ciuman yang tergesa. Senja hanya menyisakan guratan warna perak di langit yang berangsur jadi kelam. Ombak masih menyusun kepakan, bersama ribuan kelelawar yang membubung mencari-cari musim yang ranum. Betapa aku kerap terhempas. Dan selalu saja tak tahu hendak ke mana. Ketika kusaksikan orang-orang berduyunan menuju kemurungan, sambil mempercakapkan negeri yang sobek. Aku masih tak tahu mesti ke mana.

Tiba-tiba seseorang berlari. Tapi bukan kau. Dari tubuhnya bermuntahan remah-remah musim gemuruh. Kulihat warna-warna ladang telah memudar di rambutnya. Aku pun ikut berlari, seraya menyusun gema tahun dari serangan sesak nafas. Kian hanyut tubuhku, terus ke hilir, diseret aliran-aliran sungai yang bermandikan badai. Lalu tiba-tiba seseorang kembali memanggilku: suaranya mirip ibu.

Ketika kau pulang, aku hanya takut kau gugup. Setelah lama terpisah dari syair-syair yang kudus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun