Aku terbangun saat tengah malam terdengar suara gaduh depan rumah. Kulirik jam ternyata jam 3 subuh. Samar terdengar suara Bapak yang sesekali menjawab pertanyaan. Bergegas saya ke jendela melihat aktivitas apa yang dilakukan Bapak subuh begini.
"Cepat cepatki Pak, aduh lambat sekali"..terdengar seorang Bapak dengan nada tinggi menyuruh Bapak bergegas.
Kulihat Bapak tetap fokus untuk  menuangkan bensin ke tangki mobil dengan sedikit kesulitan..bagaimana tidak, bensin eceran ini memang dirancang untuk botolan pengendara motor sehingga tidak tersedia corong panjang. Aku hanya.menyaksikan punggung Bapak yang sedikit kurus sehingga tulang tulangnya nampak dari jendela. Bapak pasti dingin. Walau kebiasaanya tidur tidak memakai baju. Saya yakin, dia terbangun dengan tergesa karena digedor -gedor hingga bahkan memakai bajupun Bapak tak sempat.
"Ando'le, bagaimanakah ini Bapak..menjual bensin baru tidak lengkap alatnya" kembali ada Ibu ibu yang nyelutuk juga dengan tidak sabar
"Iyo ahh...terlambatmiki nanti ini" masih dengan nada geram Bapak yang tidak sabaran tadi menyambungnya.
Bapak hanya bersuara kecil sambil tetap fokus menuangkan bensin dengan kesulitan "saya memang tidak punya alat" ucap Bapak tetap tidak terpancing.
Dengan tidak sabar seorang laki-laki turun dari mobil dan menyobek karpet plastik yang biasa digunakan untuk duduk-duduk dekat bensin botolan Bapak. Menggunakannya sebagai corong lalu dengan kasar memerintahkan Bapak untuk menuangkan bensinnya. Perasaan campur aduk sebagai anak membuat saya bertekad bahwa jika sekali lagi saya mendengar nada tinggi, saya akan teriak untuk berhenti. Tidak usah beli di Bapak. Masih ada suara2 menggerutu, namun akhirnya mereka pergi meninggalkan suara injakan gas yang penuh kemarahan.
Bapak tidak marah, dia dengan wajah biasa hanya merapikan botol lalu.kembali masuk kedalam rumah.
Ya Allah, sesabar itu dirimu yang dibangunkan tengah malam. Dimaki, dicerca padahal mereka yang butuh. Yah,Bapak memang mencari rejeki namun apakah harus  dengan menanggung makian seperti itu. Dari balik jendela air mataku bertetesan. Hatiku menangis, karena tak punya kekuatan apapun untuk membelanya. Sabar Bapak, tunggu aku besar. Sabar Bapak, tunggu aku bisa punya keberanian lebih. Sabar Bapak, tunggu anakmu ini berhasil dan tak akan kubiarkan mereka menghinamu.
Sabarki' Bapak. Tunggu saya besar .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H