Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menyadari Pentingnya Bahasa Ibu; Refleksi Percakapan dengan Mr. Brendon

22 Januari 2025   11:15 Diperbarui: 23 Januari 2025   06:24 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar percakapan dengan Mr. Brendon Sumber: dokpri

Saya teringat sebuah percakapan kawan saya melalui WhatsApp dengan Mr. Brendon, seorang peneliti bahasa asal Australia yang diberi gelar Daeng Naba karena dedikasinya dalam mendalami dan meneliti bahasa Makassar. Percakapan sepenuhnya berlangsung dalam bahasa Makassar. Setiap kali kawan saya mengirim pesan, Brendon selalu membalas dengan fasih dalam bahasa Makassar, seolah-olah bahasa itu adalah bahasa ibunya. Padahal, beliau orang Australia tulen. Lahir dan besar di Australia. Melalui dialog sederhana ini, saya merasa bangga sekaligus tersentuh oleh konsistensi dan penghormatan yang ia tunjukkan terhadap bahasa daerah kami. Saya juga tersadar, mengapa tidak menggunakan bahasa ibu, bahasa Makassar, saat berkomunikasi---langsung atau melalu aplikasi---dengan sesama pengguna bahasa Makassar. Kami, kok, selalu berbahasa Indonesia, ya! Tidak salah juga, sih, tetapi di ruang mana lagi saya akan berupaya menggunakan bahasa ibu dalam kehidupan.

Pengalaman ini menjadi cerminan betapa pentingnya menyadari keberadaan bahasa ibu dalam kehidupan kita. Bahasa ibu tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga bagian dari identitas budaya, sejarah, dan warisan leluhur. Ketika seseorang seperti Daeng Naba, yang berasal dari luar budaya kita, mampu menghargai dan menggunakan bahasa daerah dengan penuh kesungguhan, pertanyaan besar muncul: Apakah kita, sebagai penutur asli, sudah melakukan hal yang sama? Silakan dijawab dalam hati masing-masing. Hela nafas, sadari, ambil langkah nyata, sedikit pun tidak masalah disbanding tidak sama sekali.

Bahasa ibu sering kali terpinggirkan di tengah gempuran globalisasi dan dominasi bahasa internasional. Banyak penutur asli yang, secara tidak sadar, mulai meninggalkan bahasa daerah mereka karena dianggap kurang modern atau tidak relevan. Padahal, bahasa ibu adalah pintu menuju pemahaman yang mendalam tentang budaya, nilai-nilai, dan cara berpikir nenek moyang kita. Kehilangannya berarti kita kehilangan sebagian dari jati diri kita. Lihatlah bagaimana perumahan, gedung-gedung tinggi, kafe, dan ruang publik. Mereka ramai-ramai bangga menggunakan bahasa asing alih-alih menggunakan bahasa daerah yang sesuai.

Sebagai seorang pemerhati bahasa, Daeng Naba memberikan teladan tentang bagaimana bahasa ibu dapat tetap hidup jika digunakan secara konsisten dalam komunikasi sehari-hari. Ia menunjukkan bahwa menjaga bahasa daerah bukan hanya tanggung jawab penuturnya, tetapi juga tanggung jawab global, sebagai bagian dari upaya melestarikan keberagaman linguistik dunia. Ayolah, segera ambil langkah walau secuil, lestarikan bahasa daerah dalam bentuk nyata---percakapan sehari-hari.

Penyadaran akan pentingnya bahasa ibu dapat dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, berbicara dalam bahasa daerah di rumah, mengajarkan anak-anak untuk memahami dan mencintai bahasa leluhur mereka, serta menggunakan bahasa ibu dalam kegiatan budaya dan sosial. Selain itu, pemerintah dan institusi pendidikan memiliki peran besar dalam memasukkan bahasa daerah ke dalam kurikulum formal. Ini butuh langkah nyata. Jika kita lihat, di beberapa satuan pendidikan, sudah menjadikan bahasa daerah sebagai muatan lokal. Perlu usaha lebih nyata lagi, agar bahasa daerah dijadikan sebagai mapel wajib untuk setiap jenjang.

Kongres Internasional Bahasa Ibu yang akan digelar di Makassar pada 21 Februari 2025 oleh Himpunan Pelestari bahasa daerah bekerja sama dengan Perhimpunan Pendidik Bahasa daerah Indonesia menjadi momentum penting untuk merefleksikan langkah-langkah pelestarian bahasa ibu. Kegiatan ini menghadirkan beberapa narasumber lokal dan internasional yang menginspirasi kita semua untuk kembali mencintai bahasa daerah.

Percakapan sederhana saya dengan Brendon (Daeng Naba) menjadi pengingat bahwa bahasa ibu hanya akan bertahan jika kita, para penuturnya, konsisten menggunakannya. Itulah upaya pelestarian paling nyata. Di lingkungan kita belajar menggunakan dan di satuan pendidikan, anak-anak diajak untuk menulis aksaranya. Jika seorang dari negeri jauh mampu menjaga dan menghormati bahasa kita, bukankah kita sebagai penutur asli seharusnya lebih terpanggil untuk melestarikannya? Jangan biarkan bahasa ibu menjadi cerita usang, hadir bak fatamorgana di siang bolong, tetapi jadikan ia nafas kehidupan yang terus diwariskan kepada generasi mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun