Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Libur Telah Tiba, Saatnya Mengulik Kenangan Masa SMP

22 Desember 2024   14:28 Diperbarui: 22 Desember 2024   14:28 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana menonton zaman dulu. Sumber: seputarbandungraya.com

Libur telah tiba. Berbagai macam cara dapat dilakukan untuk menikmatinya. Bagi saya, karena cuaca yang tidak menentu, menikmati libur di rumah menjadi pilihan tepat hingga kini. Setelah membersihkan halaman, sambil menyeruput secangkir kopi, saatnya mengulik kenangan masa SMP saya, sekitar tahun 1997 hingga 2000.  Masa-masa yang penuh kesederhanaan, namun penuh bermakna. Kami, saya dan teman-teman, sering berjalan kaki ke sekolah setiap hari. Perjalanan yang cukup jauh, sekitar 5 kilometer. Saat itu, kami tidak merasakan jauh, mungkin karena kami selalu berangkat bersama atau memang tidak ada pilihan lain. Sepanjang jalan, kami bercanda, berbagi cerita, dan sesekali berlarian mengejar waktu agar tidak terlambat. Jika hujan tiba, bermain sambil berupaya lewat di antara butirannya menjadi kenangan yang tiada tara. Pulang sekolah pun tak jauh berbeda. Kami melangkah santai, sambil membawa semangat khas anak kampung yang riang.

Cerita paling menarik justru terjadi di akhir pekan, terutama pada hari Minggu. Saat itu, belum ada istilah fullday. Itulah mengapa akhir pekan begitu bermakna. Di kampung kami, hiburan sangat terbatas. Hanya rumah-rumah tertentu yang memiliki antena parabola yang bisa menangkap siaran selain TVRI. Tidak ada internet, tidak ada telepon genggam, apalgi bioskop, hanya televisi yang menjadi pusat kebahagiaan kami.

Setiap Minggu pagi, setelah sisiran, kami beramai-ramai menuju rumah salah seorang warga yang bersedia membuka ruang santainya untuk anak-anak kampung. Lain desa pula. Tujuannya satu, menonton acara favorit kami. Perjalanan ke rumah itu memakan waktu sekitar 30 menit. Meski cukup jauh, tidak ada satu pun dari kami yang mengeluh. Sepanjang jalan, semangat kami terpancar jelas. Bayangan akan menonton Ninja Hatori, dengan aksinya yang lucu sekaligus heroik, nyanyian yang tidak lekang (mendaki gunung, lewat di lembah...), membuat langkah kaki terasa ringan.

Setelah Ninja Hatori, giliran Wiro Sableng yang ditayangkan. Dua jam kami tak akan menggeser posisi duduk. Bergeser sedikit saja, pasti sudah ada yang gantikan. Suasana pun semakin ramai. Kami tertawa bersama melihat tingkah Wiro yang nyeleneh namun selalu berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Belum lagi jika kapak 212 sudah menyembul keluar dari dada Wiro. Kebahagiaan itu berlangsung hingga pukul 12 siang, saat tuan rumah mematikan televisi dan memberi tanda bahwa sesi menonton telah usai. Kami pun pulang, meskipun ada rasa enggan meninggalkan kebersamaan itu. Di perjalanan kami bermain-main sambil mempraktikkan jurus Wiro secara bergantian.

Tapi ada kalanya tuan rumah menyalakan televisi lagi, terutama saat tayangan Xena dimulai. Sayangnya, kali ini anak-anak tidak lagi diperbolehkan masuk. Aturan ini rupanya bertujuan agar kami tidak terlalu lama menonton. Sesekali, kami mengintip dari balik tembok atau celah jendela, berusaha melihat aksi Xena melawan musuh-musuhnya. Diam-diam, kami tetap menikmati momen itu, meskipun hanya sebatas "penonton gelap."

Kenangan ini begitu melekat di hati saya. Meski sederhana, perjalanan setiap Minggu pagi itu selalu membawa kebahagiaan yang tidak ternilai. Sekarang, saat kami bertemu, kenangan itu terkadang menjadi pembuka cerita seru. Kami berjalan jauh hanya untuk menonton televisi, tetapi di balik itu ada kebersamaan, tawa, dan semangat hidup yang begitu tulus.

Kini, setelah 24 tahun berlalu, saya menyadari bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar. Terkadang, momen sederhana seperti berkumpul bersama keluarga atau teman-teman, menonton acara favorit, atau sekadar berbagi cerita sepanjang perjalanan sudah cukup untuk menciptakan kenangan indah yang abadi. Hari Minggu di masa SMP saya adalah bukti bahwa di tengah keterbatasan, selalu ada cara untuk merasa bahagia. Dan kebahagiaan itu terasa begitu nyata, seolah baru terjadi kemarin. Bagaimana dengan Anda? Apakah pengalaman kita sama, mirip, atau kontras? Silakan ceritakan, ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun