Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menikmati Kolaborasi Melalui Panen Karya P-5

13 November 2024   13:24 Diperbarui: 13 November 2024   13:31 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar saat penulis mendengar penjelasan murid mengenai baju adat. dokpri

Lorong sekolah yang biasanya lengang di jam-jam pelajaran, hari ini bergemuruh oleh riuh suara tawa, kagum, dan keceriaan.  Mereka lalu lalang, tersenyum, sambil menjemput tamu yang mendatngi kelas mereka. Kain tradisional berwarna-warni tergantung di setiap sudut kelas, seperti pelangi penuh makna yang memancarkan keanekaragaman budaya Indonesia. Ada juga kain yang dipasang rapi sebagai sekat pemisah antara stand/pos yang mereka siapkan. Ada stand/pos yang memaerkan rumah adat, ada tarian, dan pos lainnya sesui rancangan setiap kelas.  Sebagai pengembang kurikulum dan memberikan masukan dalam penyusunan modul P5, saya bahagia berkeliling menyaksikan Panen Karya dengan tema "Bhinneka Tunggal Ika," menyoroti kebinekaan Indonesia yang dipamerkan oleh mereka. Ada yang mengangkat daerah Melayu, Jawa, hingga Kalimantan.

Kepala sekolah dan guru-guru lain pun berkunjung. Semuanya antusias. Mengisi daftar hadir hingga menyaksikan penampilan tiap kelas yang dikunjungi. Di kelas yang telah disulap menjadi panggung drama, beberapa guru duduk berdempetan. Di sana, sekelompok siswa menampilkan cerita rakyat dalam bentuk drama. Mereka memerankan kisah tersebut dengan penuh penghayatan, menampilkan ekspresi marah, sedih, dan haru saat situasi mencekam yang ditampilkan dalam pementasan. Pelakonnya, semua laki-laki. Dari cerita ini, tampak jelas penguatan nilai beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, semangat nasionalisme, dan berakhlak mulia di dalam diri siswa. Mereka bukan hanya menampilkan drama, tetapi juga memahami pesan moral dan nilai luhur dari cerita tersebut.

Di kelas lain, kelompok siswa mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah, seperti Minangkabau dan Jawa Timur. Para penjaga tiap stand menjelaskan makna dari tiap hiasan dan simbol pada pakaian adat itu. Ada juga kelas yang menyiapkan tarian khas Kalimantan. Liukan tubuhnya gemuali mengiringi lagu. Tersenyum kecil setiap memandang ke tamu. Penuh tawa dan keceriaan. Pada momen ini mereka menuturkan kisah budaya yang mendasarinya, menunjukkan rasa kebhinekaan global. Mereka menampilkan budaya lain dengan sikap penuh hormat dan apresiasi, menunjukkan bahwa mereka bangga pada identitas mereka, namun tetap terbuka dan menghargai keberagaman.

Lanjut ke kelas lainnya, kelompok siswa menyambut kami dengan presentasi rumah adat dari Minangkabau, warna catnya hitam. Saya bertanya, mengapa bukan coklat? Sepertinya masalah teknis, mereka tidak menemukan pewarna semprot coklat padahal waktu sudah semakin mepet. Mereka menjelaskan dengan detail. Dari makna hingga latar belakang bentuk rumah adat seperti itu. Sikap bergotong royong dan kerja sama yang baik di antara mereka muncul saat sesi presentasi ini. Setiap anggota kelompok saling melengkapi, menambahkan detail yang menarik, dan bekerja sama dengan rasa tanggung jawab dan kepedulian. Mereka saling berbagi peran, mencerminkan pentingnya kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Inilah yang kami harapkan dalam projek P-5 ini. Perlahan tapi pasti, semoga nilai-nilai tersebut tertanam dalam jiwa dan semangat mereka.

Kami tiba di kelas terakhir yang dipenuhi warna terang. Di setiap stand pameran, makanan dan minuman tersaji dengan rapi. Saya enggan menikmatinya. Biarkan menjadi properti yang semakin memperindah stand mereka. Dari rung lain, alunan musik tradisional dan sorak penonton masih terdengar. Para siswa menampilkan tarian daerah dengan gerakan yang energik dan penuh makna, memancarkan nilai berkebudayaan dan berpikir kritis. Mereka bukan hanya menghafal gerakan, tetapi juga memahami filosofi di balik tarian yang mereka bawakan, seolah-olah budaya telah merasuk ke dalam jiwa mereka dan menjadi identitas yang melekat.

Setiap kelas saling menyambut dengan senyum hangat, menjawab pertanyaan, dan berbagi pengetahuan dengan teman-temannya. Satu demi satu pengunjung dari kelas lain dilayani dengan baik. Diberi penjelasan hingga mereka sumringah pasca-kunjungan. Semangat mandiri tampak ketika mereka percaya diri mempresentasikan karya mereka tanpa bantuan orang dewasa, gurunya.  Mereka menunjukkan kemandirian dalam belajar dan mengelaborasi ide.

Jam menunjukkan pukul 10. Saya izin ke kepala sekolah untuk mengikuti kuliah di kampus. Sebelum berangkat meninggalkan sekolah, saya berdiri di ujung lorong, memandangi keramaian di setiap sudut. Hari itu bukan hanya sekadar panen karya, tetapi juga panen nilai-nilai yang mencerminkan profil Pelajar Pancasila---beriman dan berakhlak, berkebinekaan global, mandiri, gotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun