Dua hari ini, media sosial saya dipenuhi ajakan mendukung bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN. Dukungan tersebut tidak hanya digemakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Bahasa. Masyarakat pun ramai-ramai membagikan twibbon yang berisi ajakan tersebut. Hingga kini, saya belum terlibat dalam dukungan. Apakah saya tidak mendukung? Bukan. Saya sangat mendukung perkembangan bahasa Indonesia. Jangankan ASEAN, dunia sekalipun. Membaca alasan yang disampaikan oleh Badan Bahasa, bahasa Indonesia memang layak secara administrasi. Akan tetapi, bagaimana bahasa Indonesia di negeri sendiri. Apakah bahasa Indonesia sudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Apakah bahasa Indonesia telah menjadi jati diri bangsa dan kebanggaan nasional? Kebanggaan dan jati diri yang saya maksud bukan sekadar pengakuan, tetapi bagaimana bahasa Indonesia dipahami dengan baik dan diimplementasikan dalam komunikasi resmi serta penamaan-penamaan instansi pemerintahan, kantor, perusahaan, perumahan, dan ruang publik.
Tengoklah instansi pemerintahan kita. Jika Anda berkunjung ke sana, masih banyak kekeliruan-kekeliruan penggunaan bahasa Indonesia yang dibiarkan terjadi. Baru saja kita menuju pintu masuk, kita sudah membaca push alih-alih menemukan kata dorong tertulis pada pintu tersebut. Di ruang tunggu, dengan mudahnya membaca No Smooking dan betapa susahnya menemukan teks  dilarang merokok.
Di dunia pendidikan, tugas menggunakan dan mengembangkan bahasa Indonesia yang baik dan benar seolah hanya menjadi tanggung jawab guru bahasa Indonesia.Â
Guru mata pelajaran lain seakan tidak peduli dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bagi mereka, yang penting informasi mata pelajaran tersampaikan dan peserta didik memahaminya.
Jangan tanya bagaimana bahasa Indonesia dilecehkan di perusahaan-perusahaan. Mulai dari penamaan perusahaan, informasi di ruang tunggu, hingga ke toilet pun, kita jauh dari upaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Mengapa tidak menulis saja kata laki-laki atau pria daripada menuliskan kata man di pintu toilet untuk pria.Â
Di bank atau instansi layanan lainnya, saya tidak pernah menemukan teks layanan pelanggan yang seharusnya digunakan sebagai padanan kata customer service. Lalu, kita ikut berjuang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN? Yuk, ke toilet, ganti papan informasi tersebut. Sekarang! Iya, sekarang!
Mencari nama perumahan? Jangan heran, ya! Nama perumahan saat ini lebih bangga dengan menggunakan penamaan asing. Bahkan, semakin berkelas perumahan tersebut, semakin keren pula bahasa asing yang digunakan. Tidak percaya? Yuk, kayulah sepeda Anda lalu baca nama perumahan yang Anda lewati.
Bagaimana dengan ruang publik kita? Jangan tanya. Ruang-ruang publik saat ini masih banyak yang mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah sekadar menyusun teks asing dengan hiasan warna-warni.Â
Lihatlah kata city, discovery, public area menjadi teks yang banyak mewarnai ruang publik kita. Ruang-ruang tersebut banyak dikunjungi oleh masyarakat sehingga dengan sendirinya mengajarkan ke mereka bahwa kita harus bangga berbahasa asing, bukan sekadar menguasainya.
Nah, akhirnya saya mengajak untuk mendukung bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ASEAN. Akan tetapi, benahi terlebih dahulu dapur di negeri sendiri sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa yang berdaulat.