Pekan ini sekolah-sekolah disibukkan dengan pelaksanaan ulangan. Sekolah Menengah Atas sedang melaksanakan ulangan semester Genap untuk kelas XII. Ulangan ini merupakan bagian akhir untuk pengisian nilai rapor mereka. Tersisa dua penilaian yang harus mereka tuntaskan, ujian praktik dan ujian akhir sekolah. Sementara itu peserta didik yang lain (SD dan SMP) sedang melaksanakan penilaian tengah semester. Penilaian ini bertujuan mengukur pemahaman mereka terhadap kompetensi yang telah dipelajari selama setengah semester.
Semua proses di atas berlangsung secara natural. Semuanya telah disusun secara terencana oleh sekolah dan dinas pendidikan. Kalender pendidikan dan program tahunan/semester telah disusun jauh hari sebelum proses pembelajaran dimulai.
Kawan Kompasiana, bukan proses penilaian di atas yang akan saya ceritakan. Hari ini saya akan bercerita hal menarik, setidaknya menurut saya. Seperti biasa, ada waktu-waktu tertentu kami berkumpul satu keluarga. Salah satu momen tersebut adalah saat menyarap. Saya setiap pagi harus mengantar tiga orang anak ke sekolahnya masing-masing. Yang sulung SD kelas VI, yang tengah SD kelas II, dan si bungsu masih asyik bermain di bangku TK. Jadilah di rumah kami, setiap pagi seperti pasar malam. Riuh dan berseliweran. Ketiga anak tersebut belum bisa bangun secara mandiri. Harus dibangunkan. Berkali-kali pula. Eh, kok, curhat, ya! Baik, saya lanjut. Sebelum ke sekolah, semua harus menyarap. Ini hal wajib agar mereka bisa lebih konsentrasi di sekolah tanpa perut keroncongan. Sekaligus menjadi senjata ampuh untuk mengurangi uang jajan. Nah, saat menyarap inilah, perbincangan santai selalu kami lakukan. Entah persoalan sekolah, mainan, aktivitas tadi malam, hingga persoalan angan-angan masa depan. Pagi tadi, yang kami bincang adalah persoalan pendidikan.
Begini, si anak tengah, Wahyu, yang duduk di kelas II sekolah dasar memulai. Dia berbicara sambil membanggakan diri. "Etta, saya dapat nilai 100 kemarin'" katanya sambil menyuap nasi yang sedari tadi di genggamannya. Si bungsu yang masih TK melongo. Seakan cemburu atau tidak paham. Di TK dia tidak pernah mendapat nilai di bukunya. Buku catatan dan tugasnya hanya dipenuhi bintang-bintang. Maksimal bintang lima. Itulah prestasi paling tinggi. Setelah semua diam, saya melanjutkan percakapan sambil bertanya. "Hebat, ya, memangnya... bagaimana bisa, Nak?" Wahyu tidak ingin memutus perbincangan. Belum juga saya menarik nafas, dia lalu menjawab. "Kan kemarin saya ulangan dua mata pelajaran. Pelajaran pertama, saya dapat 60. Di pelajaran kedua, saya diberi nilai 4o oleh bu guru. Bukankah itu 100 Etta? 60 tambah 40 berapa?" Belum sempat saya menjawab, dia langsung menambahkan, 100 kan, Etta. Â Nasi yang ada di kerongkongan saya hampir tidak tertelan. Istri yang masih sibuk di dekat kompor tertawa. Lama. Dia tidak menimpali. Saya pun terdiam. Kakaknya yang kelas VI SD ikut tertawa sambil ngomong. Saya menyelanya dan meminta segera menghabiskan sarapan yang masih tersisa. Saya takut dia akan merundung adiknya yang belum paham tentang angka-angka.Â
Istri memandang ke arahku. Saya mendehem. Menghentikan percakapan dan buru-buru minum air putih. "Saya akan tulis hasil perbincangan kita pagi ini. Di Kompasiana, pastinya" Ucapku kepada istri sambil lalu. Semua selesai makan. Kembali sibuk dengan aktivitas berikutnya. Mencuci tangan, gosok gigi, bersalaman dengan nenek dan ibu, lalu menuju ke mobil. Melaju ke liukan jalan raya yang macet.Â
Di atas mobil pikiran saya terus berproses. Membuka memori. Mencari teori-teori pembelajaran dari kasus tadi. Akhirnya, tibalah saya pada simpulan sesuai judul yang saya pilih pagi ini, betapa anak-anak (mungkin hingga kelas IV SD) tidak paham arti nilai pengetahuan yang tertera pada buku atau kertasnya. Dia hanya paham nilai 100. Entah  bagaimana prosesnya, yang ada dalam pikiran mereka adalah nilai tersebut.
Kisah ini menjadi refleksi bagi kita sebagai pendidik, fokus pada konten tidak menjadikan pembelajaran begitu bermakna pada peserta didik. Terkadang, pendidik lelah mengajarkan materi yang bertumpuk sementara waktu semakin mepet. Apalagi di masa pembelajaran tatap muka terbatas ini. Rasanya waktu tidak cukup untuk menuntaskan seluruh kompetensi dasar yang ada. Yang katanya harus dituntaskan. Saatnya kita mengarahkan pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi menekankan pada keterampilan/kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa dari pengetahuan yang didapatkan. Dalam pembelajaran, peserta didik tidak hanya tahu atau paham materi, tetapi aksi nyata dan sikap apa yang dapat peserta didik lakukan dengan pengetahuan yang dimiliki/telah diperolehnya itu.
Itulah mengapa saya tidak mempersoalkan persepsi anak saya yang mendapatkan nilai 60 dan 40 pada dua mapel yang telah diujikan, lalu dia merasa bangga karena mendapatkan nilai 100 setelah dia mengakumulasi sesuai kemampuan otaknya. Di rumah, saya lebih fokus mengontrol perubahan tingkah laku dan karakter. Saya bersyukur jika dia bisa membangunkan saya dari tidur siang ketika azan salat Asar berkumandang lalu kami berboncengan menuju masjid. Saya bangga ketika dia bisa menahan emosi yang seharusnya dia luapkan kepada adiknya. Walaupun hal itu masih sangat sulit dan jarang ia lakukan. Saya berbahagia ketika setiap malam dia membawa kartu mainan anak-anak ke masjid lalu sibuk menawarkan kepada kawan-kawannya untuk dibeli. Mungkin anak-anak kawan pembaca jauh lebih hebat.
Tulisan ini hanya refleksi untuk kita semua. Betapa saat ini kita harus mengalihkan perhatian pada pembelajaran berbasis kompetensi. Memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang kebermanfaatan/kebermaknaan pembelajaran yang telah didapatkannya di ruang-ruang kelas.
Salam Merdeka Belajar