Mohon tunggu...
Suparmin
Suparmin Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik Tingkat SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel

Tebarkanlah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ki Hajar Menghamba pada Murid

27 April 2021   09:00 Diperbarui: 28 April 2021   08:07 11103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sekolah, kita harus memahami bahwa Ki Hajar antiteori TABULARASA. Ki Hajar sadar betul bahwa kita harus sesuai kodrat alam. Sang anak sejak lahir memiliki talenta. Kewajiban pamong/guru mengetahui minat anak. Kita harus menghargai kemerdekaan sang anak. Pamong harus taat pada talenta anak, selama itu hal positif. Jika negatif, di situlah pamong harus berperan memandu ke arah yang lebih baik. Pamong dengan asas kekeluargaan menginginkan pamong mengembangkan sang anak sesuai apa kodrat yang digariskan Tuhan Yang Maha Esa.

Setelah Orde Baru, trilogi Ki Hajar Dewantara dipahami dalam trilogi kepemimpinan. Padahal, Ki Hajar menginginkan bahwa trilogi itu bukan hanya dalam kepemimpinan, tetapi juga pendidikan.  Ketika Tut Wuri Handayani menjadi slogan dan hal itu ditanyakan kepada beliau, dia legowo dengan mengatakan selama itu memberikan manfaat, maka tidak ada masalah. Dalam Tut Wuri, sebenarnya, peserta didik harus aktif mencari tahu bukan sekadar menunggu info dari sang guru. Jadilah peserta yang aktif, bukan pasif.

Jika berbicara pada konteks guru penggerak, seorang guru penggerak harus semangat menghasilkan hal yang positif dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa. Jika bekal cukup, jadilah teladan untuk sesama pendidik dan seluruh anak bangsa.

Sebagai penutup Ki Prio mengatakan bahwa sekarang, pendidikan di negara kita, banyak sekali mengambil sistem pendidikan yang tidak asli dari tanah air. Padahal, tokoh-tokoh dari luar itu datang ke Taman Siswa untuk berdiskusi kepada Ki Hajar Dewantara.  Trikon, konvergensitas, mengambil dan memilah pengetahuan dari luar. Konsentrisitas pada budaya luhur kita, musyawarah mufakat, gotong royong, dan lain sebagainya. Bagian tersebut diolah secara kontinuitas dari periode ke periode, dari generasi ke generasi. Hasil-hasil budaya harus dipertahankan secara berkelanjutan.

"JIKA TIDAK, NEGARA KITA BISA SAJA BUBAR," kata Ki Prio sambil tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun