3. Â Jam tangan
Ketika menuliskan bagian ketiga ini, saya menanyakannya kepada istri. Dia lalu tersenyum. "Ada kok orang yang biar di rumah suka memakai jam tangan!", katanya. Iya juga sih! Akan tetapi, sekali lagi, ini secara umum, tidak berbicara perorangan.Â
Coba kita ingat. Sebelum Covid-19 ini memutus aktivitas sosial kita, berapa kali kita mesti memutar kendaraan lalu kembali ke rumah hanya gegara lupa memakai jam tangan.Â
Lalu sekarang di mana Anda menyimpannya? Di atas lemari? Di laci? Di dasbor mobil? Di dalam tas kerja? Atau jangan-jangan pada saat membaca tulisan ini, Anda lupa di mana menyimpan jam tangan yang begitu penting sebelum Covid-19 memaksa kita untuk tetap di rumah.
Begitulah sebagian watak manusia. Memperhatikan jika butuh, lalu melupakan jika tak membutuhkan. Secara hakikat, iya, hubungan itu terjadi karena saling membutuhkan.Â
Tetapi, mestinya saling membutuhkan itu tidak boleh dimaknai secara pragmatis. Manusia mestinya menjalin sosial tanpa dasar saya dapat apa dan Anda kebagian apa.
4. Â Pakaian kantor
Apakah kantor Anda mewajibkan memakai pakaian kantor jika melaksanakan meeting secara virtual? Atau jika Anda pendidik, apakah mewajibkan peserta didik Anda menggunakan pakaian sekolah jika proses belajar dari rumah Anda lakukan?Â
Saya baca di media, sebuah sekolah di Amerika Serikat menerapkannya. Peserta didik mereka setiap hari wajib menggunakan seragam sekolah ketika proses pembelajaran secara daring dilaksanakan. Tapi, sekali lagi, hanya beberapa instansi yamg menerapkannya.Â
Di antara kita lebih banyak yang melipat rapi pakaian kantornya lalu menyimpan dengan wewangian di dalam lemari. Sesekali telisik ya, jangan sampai menjadi sarang tikus lalau Anda kelabakan ketika masa bekerja dari rumah sudah berakhir.
Lalu apa filosofinya untuk kita? Sederhananya, kita mesti sadar bahwa seragam tidaklah menjadi prasyarat utama sebuah proses kerja dapat dilaksanakan.Â
Pernah membaca diskusi panas di media sosial ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menggunakan pakaian yang dianggap santai ketika menghadiri pelantikan seorang rektor?
 Bahkan, Mantan Ketua DPR RI, Marzuki Alie pun  menyoroti gaya berpakaian sang menteri yang hanya menggunakan baju batik berwarna biru yang lengannya digulung ke atas, celana seperti jeans dan sepatu tanpa kaos kaki.Â
Tidak perlu saya lanjutkan. Cukuplah itu menjadi dasar. Siapa Nadiem Makariem saat ini, bagiamana kariernya dan saksikanlah bagaimana dia begitu nyaman dengan gaya berpakaiannya.
5. Â Alat-alat perawatan wanita
Ini hanyalah persepsi. Juga tidak mengenai semua perempuan. Toh, begitu banyak perempuan saat ini yang lebih memilih tampil apa adanya. Tapi, saya yakin, lebih banyak lagi perempuan yang tidak berani keluar rumah sebelum mendandani tubuh mereka dengan berbagai macam make up.Â
Mulai dari rambut hingga ujung kaki. Bagian tubuh yang paling banyak tersentuh benda ini adalah wajah. Cermin biasanya menjadi benda yang paling menyita waktu di pagi hari bagi perempuan.Â
Bahkan, terkadang ketika ada peserta didik saya yang terlambat, lalu saya tanya alasannya. Sederhana, dia balik karena lupa memasukkan alat make up ke dalam tasnya.Â
Wow, betapa benda ini menjadi barang yang sangat penting bagi perempuan di saat keluar rumah. Lalu sekarang, masihkanh Anda ingin sibuk di pagi hari dengan hati-hati menarik dan melukis bibir Anda dengan gincu? Lalu masihkan Anda setia kala matahari belum muncul melukis dan meliukkan alis dengan alat khusus?Â
Masihkah Anda setiap saat memandang wajah di cermin lalu menghitung flek hitam yang muncul di sana dan berusaha sekuat tenaga unuk mengilangkan atau paling tidak menyamarkannya?Â
Mmmmm, jika iya, berarti Anda memang perempuan pesolek sejati. Jika tidak, yuk mari mengambil hikmah. Mari memandang wajah Anda masing-masing. Seberapa perbedaan yang muncul ketika tampil secara alami dan tampil maksimal dengan make up.Â
Jika natural itu lebih baik, maka belajarlah dari pandemi ini. Jika alis itu terlihat indah tanpa dilukis, biarkanlah dia seperti itu. Toh, Tuhan telah mencipatakan kita dengan begitu sempurna.Â
Ingatlah pesan para guru kita, kecantikan hakiki ada di dalam hati. Bukankah jeruk yang berkulit tak menarik dan penuh bintik belum tentu kecut? Dan tidak ada jaminan jeruk yang berkulit mulus dan bercahaya menawarkan rasa manis kepada kita.
Terima kasih, selalu belajar dari Covid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H