Kegehgeran sebuah isu panas membuat masyarakat heran kembali meruak di ruang publik. Wacana penundaan pemilu tentu memantik komentar berbagai kalangan masyarakat.Tokoh-tokoh politik tanah air ikut melontarkan kritiknya terhadap wacana yang beredar. Usut punya usut, gagasan penundaan pemilu 2024 dilontarkan dua ketua umum partai politik yakni Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa dan Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional, mereka berdalih jika pemilu ditunda maka momentum pemulihan ekonomi akibat pandemi dapat dilakukan dengan mengalokasikan anggaran pemilu untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Namun. yang paling mencengangkan adalah pernyataan angka kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi. Zulhas mengatakan "Berbagai survei menyebut angkanya (kepuasaan terhadap Jokowi) diatas 73 persen". Sehingga, menurutnya Jokowi masih harus menjabat setelah 2024 karena alasan situasi pandemi yang perlu diperhatikan pemerintah agar dunia usaha masyarakat dipulihankan agar bangkit dari keterpurukan ditengah pandemi.
Pernyataan menohok tersebut sontak menimbulkan penolakan diikuti perlawanan yang memunculkan situasi chaos di masyarakat,mengingat ide tersebut memiliki dampak buruk terhadap tata kelola pemerintahan Indonesia yang demokratis. Puluhan akademisi pro-demokrasi dan aktivis menolak keras rencana yang akan memunculkan benih oligarki dalam pemerintahan. Dikutip dari Tempo Co,menurut wakil ketua MPR Syarif Hasyim,"cara semacam ini menunjukan adanya metamorfosis praktek orde baru yang dikemas lebih kekinian dari tersentralisasi pada satu sosok jadi dikendalikan oleh banyak orang tetapi dengan kepentingan yang sama". Ditambahkannya,"berbagai kajian akademis menyebutkan bahaya dari kekuasaan absolut yaitu kekuasaan yang korup,kekuasaan mutlak benar-benar merusak". Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan presiden hanya dibatasi selama 5 tahun atau maksimal 10 tahun. Penundaan ini berpotensi pada kekuasaan absolut dan merusak tatanan pemerintahan karena presiden dan wakilnya saat ini telah menjabat selama 2 periode.
Dengan demikian, alasan penundaan yang dicanangkan tersirat beberapa elite politik yang mencoba mengutak-atik siklus pemilu yang diadakan rutin 5 tahun sekali demi kepentingan abstrak dengan mengguncang pakem konstitusi. Maka,alasan penundaan pemilu didasarkan pada kepentingan pribadi atau golongan agar memperpanjang masa jabatannya harus dicegah,karena tidak ada aturan yang mengatur perpanjangan masa jabatan tersebut. Hal ini tentu saja akan berpotensi menimbulkan krisis konstitusi yang sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Apabila faktor ekonomi dijadikan sebagai alasan tersebut,perlu diingat,bukannya biaya pemindahan ibukota negara memakan biaya yang lebih besar?. Maka, pemerintah harus merespon secara tegas bahwa isu ini hanya menjadi wacana politik yang tidak berdampak pada keputusan jadwal pemilu semestinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI