Nepotisme, bagaikan hantu yang menghantui kemajuan bangsa, kembali menunjukkan tajinya di era modern. Praktik kotor ini, di mana jabatan dan kesempatan diberikan berdasarkan kedekatan keluarga atau hubungan pribadi, bukan berdasarkan kompetensi dan meritokrasi, bagaikan kanker yang menggerogoti keadilan dan menghambat laju kemajuan.
Di berbagai sektor, dari pemerintahan hingga perusahaan swasta, nepotisme bagaikan benang kusut yang sulit diurai. Di ranah politik, misalnya, dinasti politik marak terjadi, di mana anak, menantu, atau kerabat pejabat tinggi menduduki posisi strategis tanpa melalui proses yang transparan dan akuntabel.
Di dunia bisnis, nepotisme juga merajalela. Tak jarang, perusahaan merekrut atau mempromosikan karyawan berdasarkan kedekatan dengan petinggi, alih-alih berdasarkan kualifikasi dan kinerja. Hal ini tentu mencederai rasa keadilan bagi para pekerja yang kompeten namun terhalang oleh nepotisme.
Dampak nepotisme tak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan. Meritokrasi yang terkikis oleh nepotisme melahirkan sistem yang tidak efisien dan tidak efektif. Kurangnya talenta terbaik di posisi-posisi penting dapat menghambat inovasi dan daya saing bangsa di kancah global.
Lebih parah lagi, nepotisme dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi dan pemimpin. Masyarakat akan kehilangan rasa hormat dan kepercayaan ketika mereka melihat orang-orang tidak kompeten menduduki jabatan penting hanya karena memiliki koneksi.
Lantas, bagaimana cara memerangi nepotisme? Upaya pemberantasan nepotisme membutuhkan komitmen dan kerjasama dari berbagai pihak.
Pertama, diperlukan regulasi yang tegas dan jelas untuk melarang praktik nepotisme di semua sektor. Regulasi ini harus disertai dengan mekanisme penegakan hukum yang kuat dan transparan.
Kedua, perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya nepotisme. Masyarakat harus memahami bahwa nepotisme bukan hanya praktik yang tidak adil, tetapi juga dapat merugikan bangsa secara keseluruhan.
Ketiga, dibutuhkan budaya baru yang menjunjung tinggi meritokrasi dan kompetensi. Budaya ini harus ditanamkan sejak dini di lingkungan keluarga, sekolah, dan institusi lainnya.
Memerangi nepotisme bukan tugas yang mudah. Namun, dengan komitmen dan kerjasama dari semua pihak, kita dapat membangun bangsa yang lebih adil dan sejahtera, di mana kesempatan diraih berdasarkan prestasi dan kompetensi, bukan berdasarkan kedekatan keluarga atau hubungan pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H