Empat tahun lalu, waktu sedang membelah selat yang membatasi pulau Ternate dan Tidore---seperti yang di uang seribunya Pattimura itu---sebagai peserta Sail Tomini 2015, saya berjanji kepada teman saya Leo di lambung kanan kapal.Â
"Suatu saat nanti saya akan ke Indonesia timur lagi!" Mungkin dia menangkapnya sebagai omong kosong, tapi, toh, tahun ini saya ke timur lagi. Malah, ke kediamannya: Ambon.Â
Dalam rangka startup dan commissioning genset Cummins QSX15-G8 untuk Pembangkit Listrik Tenaga Minyak dan Gas (PLTMG) Ambon Peaker 30 MW Waai, Maluku, saya dan Anang---rekan kantor---berkesempatan mengunjungi pulau Ambon selama bulan Juli penuh. Proyek ini berjarak 40 km dari bandara, atau sekitar satu jam dengan mobil. Ambon bulan itu hujan deras-derasnya.Â
Tak pernah masuk dalam benak saya bahwa Ambon tidak cerah; di Jawa sedang musim kemarau. Saya tidak membawa jaket karena asumsi itu, cukup menyiksa diri dalam melawan dinginnya hari.Â
Saya dan Anang dijemput oleh pak Sanusi (selanjutnya dipanggil pak Uci). Kami tidak diberi waktu untuk menaruh koper; langsung disuruh kerja! Kata pihak P. T.Bagus Karya selaku kontraktor, kita diburu waktu karena proyek cukup molor.Â
Di tengah perjalanan, kami menjemput pak Firman (ahli instalasi sistem listrik dari Schneider). Sesampainya kami di lapangan, kami mengecek keadaan genset. Hari demi hari kami tes performanya dan dinyalakan untuk membantu proses commissioning mesin-mesin utama Wartsila.Â
Sepertinya rugi kalau di sini hanya kerja. Saya juga berinteraksi dengan warga sekitar. Bersama vendor yang lain, saya tinggal di penginapan "Simple Room" di depan pelabuhan Tulehu, Maluku Tengah.Â
Di depan penginapan, ada tempat binaraga yang, saking tersohornya, pengunjungnya datang dari kota Ambon. Anak muda sekitar sini menjadikan "Simple Room" tempat nongkrong karena ada plafon tempat duduk dan wifi yang cukup kencang, meskipun baru stabil di atas jam 10 malam. Alhasil, tempat ini selalu ramai.
Pasti di bayangan Anda makan di Ambon tidak murah. Saya bisa pastikan, buang pemikiran itu jauh-jauh. Makan di sini tidak jauh dengan di Jawa. Dan tidak selalu makan ikan. Tempat makan terdekat dari penginapan saya adalah warung padang. Harganya pun bervariasi, antara 15 sampai 25 ribu rupiah. Porsinya tiga kali daripada yang biasa Anda makan. Berjalan kaki ke utara selama 5 menit, saya menemukan pasar malam di depan pintu utama pelabuhan.Â
Di situ, lebih banyak pilihan makanan, mulai dari nasi kuning, nasi goreng, martabak hingga bakso. Ikan tetap jadi primadona. Swalayan terbesar juga ada di sana,yang kebetulan dipunyai oleh pemilik penginapan, pak Dedy.Â
Orang Tulehu suka sekali bermain sepakbola dan futsal. Sepakbola mereka mainkan setiap sore. Untuk futsal, setiap hari Minggu mereka meluangkan waktu mereka. Mulai dari warga sekitar, polisi, tentara, hingga dokter ikut berpartisipasi. Bayangkan main sepakbola mini 7 v 7 selama tiga jam tanpa napas yang tersengal-sengal, itulah kualitas stamina mereka. Walaupun begitu,saya tetap bisa mengikuti permainan mereka. Awalnya saya ingin muntah dan kunang-kunang gara-gara sudah lama tidak berolahraga, tapi lama-lama terbiasa.
Mudah menjadi orang Ambon. Mereka menerima kami tamu dengan sangat baik. Mengajarkan budaya sana. Belajar bahasa Ambon juga tidak terlalu sulit. Kecepatan berbicara orangsini memang cepat, tapi sedikit demi sedikit saya mengerti. Yang bikin kaget adalah seluruh orang sini memiliki suara yang merdu. Mau darimanapun asal mereka, kualitasnya tetap tokcer. Bahkan yang tidak bisa nyanyi" suaranya tidak mengecewakan.
Meskipun telah mengunjungi pemandian air panas Tulehu, Lubang Buaya, pantai Liang, dan pulau Pombo, saya tahu saya masih belum mengeksplor Ambon secara menyeluruh. Saya pribadi merasa saya masih punya hutang yang banyak untuk memberikan yang lebih untuk saudara-saudara kita yang berada di timur ini. Jalan raya di sini masih tidak tersentuh lampu jalan. Sinyal telepon tidak merata. Walaupun mereka terlihat bahagia, mereka pantas merasakan lebih.
Ah, tak terasa sudah sebulan mengunjungi surga. Saatnya pulang. Sampai bakudapa lai, Ambon!*
(Terima kasih untuk semua yang telah menemani saya di Ambon, khususnya pak Eddy, pak Syirwan, pak Waluyo, pak Ronal, pak Firman, pak Juna, bang Dola, bang Erik, mas Dedik, mas Rafi, pak Ari, pak Bayu, pak Dedy, Entho, Andi, Azlam, Athe, Rauzin, bang Rudi, bang Irwan, bang Dorim, bang Amir, pak Uci, Anang, dan seluruh pihak yang tidak tersebut namanya di sini.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H