Perlahan, aku mulai terbiasa tanpa hadirnya. Bukan karena ingin, tapi harus. Aku sadar bahwa mencintainya berarti rela melihatnya bahagia, meski bukan bersamaku. Jika kebahagiaan itu berarti tanpa hadirku, maka aku rela menjauh, meski setiap langkah serasa mengoyak hati.
Kini, aku hanya ingin mereka di sekitarku berhenti menyebut namanya. Setiap kali nama itu terdengar, hatiku bergetar, luka lama kembali terbuka. Aku gelisah, bertanya pada diriku sendiri "Apakah keputusanku salah? Ataukah ini hanya bagian dari proses yang harus di jalani? Namun kenyataan pahit selalu menampar. Ia tak lagi peduli, bukan?"
Ingin rasanya megulang kembali semua kenangan itu, dari awal bertemu hingga akhirnya bisa menyapa secara langsung. Aneh memang tapi aku tak lagi paham dengan apa yang ada dalam pikiranku. Jika akhirnya seperti ini, kenapa harus kenal dengannya?. Namun aku yakin semuanya punya makna yang akan dipahami nanti. "Nanti" yang aku sendiri pun tak tau kapan.
Beberapa kali aku berpikir untuk menghapus semua jejaknya. Foto, pesan, bahkan kontaknya. Tapi hatiku selalu goyah. Jari-jariku berhenti di atas tombol "hapus" seakan  ada sesuatu yang menahanku. Aku bertanya pada diriku sendiri "Apakah ini langkah yang benar? Haruskah aku benar-benar memutus semua yang mengingatkanku padanya?
Katanya, waktu bisa menyembuhkan segalanya. Tapi kenapa waktu seakan berhenti saat kenangan tentangnya datang? Mengapa senyumnya masih terukir di pikiranku, dan suaranya masih bergema di hatiku? Aku terus bertanya, adakah akhir dari pergulatan ini? Ataukah aku hanya akan terus terjebak, mencintai dalam sepi?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI