Mohon tunggu...
Ammar Kadafi
Ammar Kadafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Aktif di beberapa pers kampus

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelah, Kehujanan, dan Pertolongan Ojol yang Tak Terlupakan di Perjalanan

28 September 2024   23:38 Diperbarui: 12 November 2024   17:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: pixabay.com

Tepat pukul 14.00, layar ponselku menampilkan notifikasi Grab Express, orderan yang tak kuduga akan datang pada hari itu. Argonya cukup menggiurkan: Rp 75 ribu sekali jalan, tapi jaraknya lumayan jauh. Di tengah kelelahan dari rutinitas yang tak kunjung henti dan pikiran yang terbelah dengan tugas akhir kuliah, aku sempat ragu. "Haruskah aku mengambilnya?" tanyaku dalam hati. Rasanya tubuh ini butuh istirahat, namun godaan angka di layar itu membuatku akhirnya memilih untuk melanjutkan.

Kupikir, dua jam perjalanan sudah cukup untuk menyelesaikan tugas ini. Namun, alam memiliki rencana lain. Hujan deras tiba-tiba mengguyur saat aku sudah setengah perjalanan. Terpaksa, aku memarkir sepeda motorku di tepi jalan, berlindung di bawah atap bangunan terdekat. Waktu berlalu lebih dari satu jam, dan aku hanya bisa memainkan ponselku, menunggu hujan reda tanpa ada pilihan lain. Sesekali, aku melirik ke jalanan yang basah, berharap air segera berhenti turun.

Setelah hujan berangsur mereda, aku pun melanjutkan perjalanan. Namun baru sekitar 100 meter berlalu, ada sesuatu yang terasa salah. Benar saja, helmku, yang selalu setia melindungi, tertinggal di tempat aku berteduh. Dengan sedikit putus asa, aku pun mengambil keputusan yang berisiko: melawan arah untuk mengambilnya kembali, sebab jika harus memutar, jaraknya terlalu jauh.

Helm sudah di tangan, dan aku kembali menatap jalan dengan penuh tekad. Namun, perjalanan ini sepertinya memang tak ingin memudahkanku. Sekitar 6 kilometer sebelum sampai tujuan, motorku tiba-tiba berhenti. Mesin mati, dan aku pun sadar, bensin habis. Terakhir kali aku mengisinya hanya Rp 15 ribu, dan jarak yang kutempuh sejak itu sudah terlalu jauh. Tak ada pilihan lain selain mendorong motorku sendiri.

Lelah mulai menggerogoti tubuhku, tapi di saat yang hampir putus asa, seseorang muncul dari belakang. Seorang pengemudi ojek online berbaju hijau khas Gojek datang menghampiriku. Tanpa berkata banyak, ia langsung menawarkan bantuan, mendorong motorku hingga kami sampai ke penjual bensin eceran terdekat. Aku tak bisa berkata apa-apa selain mengucapkan terima kasih tulus kepadanya.

Di tengah rasa lelah dan hujan yang menyisakan dingin di kulit, kejadian sederhana itu mengubah pandanganku. "Ojol bukanlah pekerjaan yang hina," pikirku. "Tapi di antara mereka ada kekeluargaan yang erat." Bantuan yang datang saat aku membutuhkan terasa begitu berharga, dan dalam hati aku berjanji, aku akan selalu membantu orang yang kesulitan di pinggir jalan, karena hari itu, aku belajar bahwa kebaikan terkecil pun bisa membuat perbedaan besar.

Cerita ini bukan hanya tentang perjalanan fisik, melainkan perjalanan batin. Dalam kesulitan dan kejadian tak terduga, aku menemukan arti kebersamaan dan rasa kemanusiaan yang tulus. Sebuah pelajaran hidup yang mungkin tak akan pernah kutemukan jika aku memilih untuk mengabaikan orderan di layar ponselku hari itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun