Di bawah langit malam yang kelam, dia duduk bersandar pada sebuah batu besar, hanya ditemani oleh dinginnya embusan angin dan cahaya rembulan purnama yang menggantung sempurna di langit. Semilir angin malam membelai lembut rambutnya, seakan menghapus sisa-sisa kehangatan yang pernah ia rasakan. Pandangannya terarah pada bulan, namun pikirannya melayang jauh, menelusuri kenangan-kenangan yang perlahan menguap dalam keheningan.
"Ternyata, tanpa kabarmu lebih nyaman untukku..." ucapnya lirih, nyaris berbisik pada diri sendiri. Kata-kata itu terlepas dari bibirnya dengan berat, seolah-olah sedang menguji kekuatannya sendiri untuk mengucapkannya. Air matanya mulai menetes perlahan, seperti hujan yang turun ragu-ragu. Hatinya remuk, tapi ada sesuatu di dalamnya yang perlahan-lahan mulai terasa lega.
Sudah terlalu lama ia menggenggam erat perasaan yang terus menjerat hatinya. Bertahun-tahun ia hidup dalam bayang-bayang harapan yang tak pernah terwujud, selalu berusaha menjangkau seseorang yang ternyata nyaman tanpa kabarnya. Kali ini, di bawah cahaya bulan yang membisu, ia mengucapkan janji yang akan mengubah segalanya, "Akanku hapus semua rasa yang pernah ada untuknya."
Namun di dalam hatinya, perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Masih ada bekas luka, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Kenangan-kenangan itu seperti bayangan, selalu ada meskipun tak terlihat jelas. Mereka mengisi ruang kosong di dalam pikirannya, menemani malam-malamnya yang sunyi. Tapi ia tahu, inilah yang harus dilakukan. Sikap yang ia terima dari orang yang pernah ia cintai kini menjadi motivasi terbesar untuk tidak lagi berharap. "Kabarmu adalah kenyamananku... namun nyamanmu, tanpa kabarku," bisiknya pada rembulan yang selalu setia mendengar keluh kesahnya.
Masa-masa penuh harapan kini mulai terasa seperti mimpi yang perlahan pudar. Dahulu, ia memaksakan diri untuk terus berkomunikasi, meskipun hati dan pikirannya mulai lelah. Setiap kata yang dikirim selalu diiringi doa-doa kecil agar kelak mereka bisa bersama. Tapi waktu, entah bagaimana, seakan berkonspirasi untuk menghapus harapan itu perlahan. "Benar apa kata orang, sikap mampu mengubah segalanya," ucapnya pada dirinya sendiri, seolah berusaha memantapkan hati yang sudah rapuh.
Dia menutup matanya, mencoba membayangkan orang yang kini sedang bersama impian yang tak lagi bisa ia jangkau. Ia berharap orang itu bahagia, walau bukan dengannya. Ia sadar, dirinya masih memiliki kekurangan yang harus diperbaiki. Mungkin, ini waktunya untuk memperbaiki diri, bukan memperbaiki hubungan yang tak pernah utuh. "Aku belum siap berjuang sejauh itu," gumamnya pelan, namun tegas. Ada kelegaan kecil yang menyusup ke dalam hatinya.
Sejak malam itu, dia tak lagi berharap bisa bertemu, setidaknya untuk saat ini. Semua perasaan perlahan ia kunci dalam hatinya, biarkan waktu yang menyelesaikan. "Sampai bertemu di lain waktu," ucapnya, kali ini lebih yakin, lebih tegas, sambil menatap ke langit malam. Kata-kata itu terbang bersama angin malam, seperti pesan yang ia titipkan pada semesta. Entah apakah pesannya akan sampai kepada orang yang ia cintai, atau hanya hilang tertiup angin, tapi ia tahu, dirinya telah berubah.
Dan rembulan, malam itu, menjadi saksi dari seorang hati yang sedang berusaha merelakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H