Tanpa terasa, sudah satu minggu berlalu sejak aku terakhir kali mendengar kabar darinya. Mungkin bagi sebagian orang, tujuh hari hanyalah rentang waktu yang singkat. Namun bagiku, hari-hari itu terasa seperti tahun, terisi dengan keheningan yang menyiksa dan harapan yang perlahan-lahan memudar.
Aku tak bisa bilang bahwa aku berhasil melupakannya. Tidak sama sekali. Setiap malam, bayangannya muncul dalam mimpi, membuatku terbangun dengan hati yang berdebar, berharap saat aku membuka mata, akan ada pesan darinya. Tapi kenyataannya, layar ponselku tetap kosong, sunyi, sama seperti hatiku yang hampa.
"Apa aku harus terus begini? Menunggunya dalam diam, berharap dia akan ingat?" Aku sering bertanya pada diriku sendiri, mencoba mencari keberanian untuk menghubunginya kembali. Namun setiap kali tangan ini terulur, ada sesuatu yang menahanku, sebuah ingatan akan janji yang pernah kubuat pada diriku sendiri. "Jangan menjadi seseorang yang memaksakan diri untuk hadir, jika kehadiranmu tidak pernah dirindukan."
Minggu ini, bukanlah sebuah keberhasilan melupakannya. Ini hanyalah jeda dari kenyataan pahit, sebuah ilusi bahwa aku bisa bertahan tanpa dirinya. Aku berharap, bahkan sangat berharap, dia akan mencari dan menyapaku. Tapi nyatanya, tidak ada tanda-tanda dari dirinya. Setiap detik penantian ini menjadi beban yang semakin berat. Apakah aku salah karena masih menunggunya? Apakah ini kebodohan yang terus kubiarkan berlarut-larut?
Aku tahu, seharusnya aku sudah bisa melepaskannya. Seharusnya aku berhenti berharap. Tapi hati ini selalu mencari-cari alasannya, menginginkan sepotong keajaiban yang mungkin tidak pernah akan datang. "Barang berharga akan selalu dijaga," begitu kata seseorang yang pernah kudengar. Kalimat itu terus berputar di kepalaku, seperti sebuah cermin yang menunjukkan betapa tak berharganya aku di matanya. Jika dia bisa hidup tanpa kabarku, mengapa aku tidak bisa?
Setiap hari aku mencoba mengalihkan pikiran, tenggelam dalam kesibukan, berharap rasa sakit ini akan memudar. Namun sejujurnya, setiap usaha hanya membuatku semakin sadar betapa aku merindukannya. Aku ingin sekali menghubunginya, menanyakan kabarnya, tapi aku takut. Takut jika suaraku hanyalah sebuah gangguan dalam hidupnya yang sudah berjalan baik tanpa kehadiranku.
Aku mungkin bukan orang yang penting baginya. Mungkin dia telah menemukan seseorang yang jauh lebih berarti. Sementara aku, hanyalah seseorang yang gagal memberikan kenyamanan. Tapi di tengah kesedihan ini, aku ingin berterima kasih pada diriku sendiri. Terima kasih karena sudah bertahan sejauh ini, meski dengan luka yang terus menganga. Entah sampai kapan aku bisa terus begini, tapi untuk saat ini, aku hanya bisa berusaha, sedikit demi sedikit, untuk melepaskan.
Dan di saat aku kembali ke keheningan malam, menunggu pesan yang mungkin tak akan pernah datang, aku belajar untuk perlahan-lahan menerima kenyataan, bahwa mungkin, dia tidak pernah benar-benar membutuhkanku seperti aku membutuhkan dirinya.
Tulisan ini hanyalah bentuk ekspresi dari hobi menulis, bukan berdasarkan pengalaman pribadi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H