Â
"Kenapa tak lagi menghubunginya? Sudah tak mau berjuang?" tanya sahabatku tiba-tiba, suaranya menyelusup di sela-sela percakapan ringan kami. Aku hanya bisa tersenyum, meski getir, lalu menjawab, "Untuk apa berjuang sendiri jika tak pernah dianggap apalagi dihargai?"
Jawabanku itu rupanya tak sejalan dengan apa yang sahabatku ketahui. Dia beranggapan akulah yang tak punya kejelasan, yang hanya memberi harapan semu. Ini bukan kali pertama aku ingin menyerah dan mencoba melupakan dia. Namun, setiap kali sahabatku berbicara seperti itu, rasa bersalah kerap menyelinap dalam hati.
Keraguan masih menghantui, menggantung di antara keyakinan dan ketidakpastian. "Apakah dia punya rasa yang sama denganku, ataukah ini hanya ilusi semata? Masih adakah harapan, atau semuanya sudah sirna?" pertanyaan-pertanyaan itu tak henti-hentinya berputar di benakku. Kata-katanya seperti pisau yang mengiris harapan, namun sikapnya selalu berhasil menciptakan kenyamanan. Dia selalu peduli, selalu hadir, meski aku sudah memintanya untuk tidak lagi menghubungiku. Selalu saja ada alasan yang membuat kami kembali berkomunikasi.
Aku tak mampu menipu diri sendiri. Perasaan ini, sebesar apapun aku mencoba menepisnya, tetap hadir setiap kali pesan darinya muncul di layar ponselku. Setiap pertemuan yang tak pernah direncanakan selalu membawa kebahagiaan, tapi juga kesedihan yang mendalam.
Namun, sikapnya belakangan ini mulai meyakinkan hatiku bahwa ucapan yang pernah ia katakan benar adanya: "Tak ada rasa, tak ada harapan." Aku mulai perlahan-lahan menutup pintu komunikasi, meski asumsi yang kupelihara ini mungkin hanya sebuah ilusi. "Aku hanya dibutuhkan ketika dia merasa bosan," gumamku dalam hati.
Harapanku hanya satu: semoga asumsiku ini salah. Aku tak bisa membohongi diri bahwa setiap pertemuan dengannya adalah anugerah yang mengandung rasa manis sekaligus perih. "Terima kasih untuk semuanya, dan sampai bertemu di lain waktu," bisikku pada angin, seakan ia mampu membawa pesan itu ke arahnya.
Sejak saat itu, aku berusaha mengisi kekosongan hati dengan hobiku, dengan segala aktivitas yang bisa menyita perhatian. Sebab, hanya dengan begitu, perlahan-lahan, aku belajar terbiasa tanpanya.
Meskipun hati masih sering terpanggil oleh bayangannya, aku yakin waktu akan menyembuhkan. Aku tak ingin terus terjebak dalam lingkaran perasaan yang tak berujung. "Mau sampai kapan terus begini?" tanyaku pada diri sendiri, sebelum akhirnya kuberikan jawaban: hingga aku menemukan kedamaian dalam keikhlasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H