Setiap hari, saya pulang-pergi ke kampus menggunakan transportasi umum. Jika memperhatikan aspek harga dan kecepatan sampai tujuan, aspek tersebut dalam angkutan kota (angkot) saling mengimbangi satu sama lain. Rasanya jika memang tidak terlalu terburu-buru, berangkat ke kampus menggunakan angkot menjadi pilihan utama saya.
Tentu saja sebagai mahasiswa yang masih belum memiliki pemasukan pribadi, saya harus betul-betul mengatur anggaran untuk transportasi ini agar tidak sampai kekurangan. Sayangnya, sistem penetapan tarif angkot yang berlaku sekarang kurang bisa membantu saya mewujudkan hal tersebut.
Pertama kali saya ke kampus menggunakan angkot trayek Gedebage-Majalaya via Sayang, saya hanya perlu merogoh kocek Rp5000,00 sekali jalan dari depan komplek saya, Bumi Panyileukan, sampai ke gerbang kampus. Setelah kenaikan harga BBM, yang saya ingat pemberitahuannya itu tarif angkot hanya akan naik Rp1000,00. Tentu saja saya langsung menyesuaikan itu dalam anggaran saya.
Pada kenyataannya, tarif yang harus saya bayarkan itu malah berbeda-beda tiap supirnya. Seharusnya, saya hanya perlu membayarkan Rp6000,00 untuk perjalanan tersebut. Namun, ada saja sopir yang meminta tarif lebih dari itu bahkan sampai Rp8000,00. Mungkin itu nominal yang kecil bagi mereka yang sudah memiliki pendapatan pribadi, tapi tidak bagi saya. Tarif tersebut jika diakumulasikan dalam satu bulan tentu akan menghasilkan jumlah yang overbudget. Ini sangat mengganggu keseluruhan anggaran yang sudah saya rencanakan tiap awal bulannya.
Ditambah lagi, perbedaan tarif itu juga terjadi pada trayek angkot lainnya yang harus saya tumpangi untuk pulang dari kampus ke rumah. Alangkah baiknya jika tarif angkot itu dibuat rigid dan ada ketetapannya untuk setiap jarak yang ditempuh. Kalau memang ada kenaikan, itu seharusnya diberlakukan secara menyeluruh dan nominalnya pun tetap.Â
Jika hal itu diterapkan dengan baik dan benar, seharusnya tidak ada sopir yang boleh menaikkan harga seenaknya. Kalau memang naik Rp1000,00 maka naikkan tarifnya sebanyak itu, jangan malah dilebihkan. Posisi saya sebagai pengguna angkot dan para sopir di sini saya pikir sama. Mereka butuh pendapatan yang mumpuni untuk memenuhi kebutuhan mereka dari para pengguna angkot yang membayar sesuai tarif, saya butuh mengatur anggaran dengan baik agar uang yang orang tua saya berikan cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan saya juga. Oleh karena itu, saya rasa tidak ada salahnya jika dibuat aturan atau ketetapan tarif angkot demi kebaikan kedua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H