Perdamaian dan Kebudayaan di Desa Langensari, BanjarÂ
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan dalang Langen Budoyo, budaya-budaya akulturasi seperti Kuda Lumping Ebeg merupakan hasil karya perdamaian dari para penyanyi dan penari, dan tidak pernah ada sejarah konflik antar suku yang diakibatkan oleh akulturasi dan percampuran di Desa Langensari. Justru, upaya akulturasi seni pertunjukan mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat.
Equalitas dalam Pementasan dalam Tingkat AcaraÂ
Bentuk seni yang diakulturasi dapat memastikan adanya sorotan yang setara bagi kedua suku dalam acara dan perayaan. Di Desa Langensari, seni pertunjukan sering digunakan dalam berbagai perayaan adat, seperti Muharroman atau Suroan.Â
Keberadaan bentuk-bentuk seni pertunjukan yang diakulturasi tidak hanya bermanfaat bagi penyelenggara acara-acara tersebut karena menarik demografik orang yang sangat luas, namun juga memastikan bahwa acara-acara tersebut yang dimaksudkan untuk melambangkan hal-hal seperti perdamaian, rasa syukur, atau kemakmuran dapat secara akurat mewakili segenap masyarakat yang merayakan peristiwa penting tersebut.Â
Representasi yang tepat dari kedua budaya dalam suasana formal sering kali menjadi faktor penting yang sering kali diabaikan, karena hal ini juga bisa menjadi pengakuan implisit pemerintah akan pentingnya kedua budaya tersebut. Dalam kasus Desa Langensari, hal ini lebih lanjut didukung oleh fakta bahwa Kepala Dalang Langen Budoyo menyatakan bahwa pemerintah daerah sangat mendukung dalam mempromosikan dan memaparkan pertunjukan mereka.
Menjamin Eksistensi Kebudaayan yang BerkelanjutanÂ
Akulturasi juga dapat menjadi jaminan bagi kedua budaya tersebut untuk terus mempunyai relevansi dalam masyarakat saat ini. Ini memanfaatkan kembali unsur-unsur dari kedua budaya tersebut dan menciptakan bentuk seni baru yang dapat menarik generasi baru dan tua untuk hadir, dan hal ini juga berlaku bagi masyarakat Desa Langensari.Â
Misalnya, anak muda mungkin lebih tertarik pada aspek penguasaan Kuda Lumping, namun belum tentu tertarik dengan musik tradisional Sunda, maka kombinasi penggunaan keduanya memastikan bahwa anak muda masih familiar dengan musik Sunda. Pada akhirnya, dalam masyarakat yang serba cepat ini, inovasi dan keunikan sering kali dicari ketika kita menghabiskan waktu.Â
Itulah sebabnya promosi dan penggunaan bentuk-bentuk seni pertunjukan yang diakulturasi mungkin merupakan cara terbaik bagi masyarakat untuk mencoba melestarikan budayanya agar tidak menjadi tidak relevan, karena budaya adalah konsep yang berubah-ubah yang memanifestasikan dirinya sesuai dengan keinginan masyarakat untuk mewujudkannya.
Hubungan antara Kebudayaan dan Perdamaian
Kesenian Kuda Lumping Ebeg, yang menggabungkan elemen dari kedua budaya mayoritas di daerah perbatasan, mencerminkan bagaimana interaksi yang harmonis dan tanpa konflik dapat menciptakan dinamika seni pertunjukan yang kaya dan menarik bagi masyarakat dari berbagai latar belakang.Â
Budaya akulturasi seperti Kuda Lumping Ebeg juga memiliki banyak kelebihan, seperti ekualitas representasi dan pelestarian budaya yang berkelanjutan, dimana kedua hal tersebut juga mendukung perdamaian pada kalangan masyarakat. Oleh karena itu, budaya akulturasi memiliki hubungan yang saling bertimbal balik dengan perdamaian, dimana perdamaian dapat meningkatkan percepatan akulturasi dan budaya yang dihasilkan juga dapat mempertahankan perdamaian tersebut jika dilakukan dengan benar. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H