Mohon tunggu...
Nur AlQuds
Nur AlQuds Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang yang selalu berusaha memperbaiki diri, meluruskan dan menjaga hati, suka berbagi dan menambah wawasan serta persaudaraan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Tak Berujung

29 Oktober 2011   16:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinginnya malam menemani kang Tejo menuruni bukit dengan mengayuh sepeda yang biasa dipakai untuk menjual hasil kebunnya. Dengan tergesa-gesa ia menuju rumah bidan Marni di kampung bawah bukit yang berjarak 5 km dari kampung kang Tejo diatasnya. Hatinya terasa gundah gulana ketika sampai di rumah sang bidan yang baik hati. Semua ini dikarenakan istri kang Tejo belum juga melahirkan anak pertamanya sejak diantar ke rumah sang bidan siang tadi. Ia bertanya kepada sang bidan, "bu bidan, apa yang terjadi dengan istri saya, koq sampai tengah malam begini belum juga melahirkan?". Sang bidan menjawab,"kang Tejo yang sabar ya, selalu berdo'a buat istri dan anak kang Tejo. Karena kondisi istri kang Tejo yang lemah, sehingga mengganggu proses kelahiran anaknya." Hati kang Tejo begitu terpukul mendengar jawaban sang bidan. Ia yang telah menunggu selama 10 tahun untuk mempunyai keturunan, tetapi harus menerima kenyataan dengan berharap cemas menunggu kelahiran anak yang diimpikannya karena kondisi istrinya yang tiba-tiba menurun sejak sore.  Setelah mengambil air wudhu, akhirnya kang Tejo melakukan sholat sunnah. Entah sudah berapa rakaat sholat yang telah dilakukannya, pada akhirnya kang Tejo berdo'a dengan suara tersedu-sedu memohon kepada Tuhannya agar istrinya diberi kelancaran dalam melahirkan dan anaknya juga selamat.

Setelah selesai sholat, dengan cemas ia menunggu didepan kamar bersalin.  Ketika mulai terdengar adzan dari musholla dan surau di kampung tersebut, terdengar pula suara tangis bayi dari dalam kamar bersalin di tempat praktek sang bidan. Hatinya terasa berbunga-bunga karena anak yang telah ditunggunya selama 10 tahun akhirnya lahir juga. Dengan langkah yang dipercepat ia menuju depan pintu kamar bersalin dan menunggu sang bidan keluar. Ketika sang bidan keluar dari pintu kamar bersalin, dengan semangat kang Tejo bertanya, "bu bidan, bagaimana keadaan anak dan istri saya?". Dengan tersenyum sang bidan meminta kang Tejo untuk kembali bersabar dan menerima kenyataan dengan ikhlas bahwa istrinya tidak terselamatkan karena kondisi fisiknya yang langsung melemah setelah melahirkan. Bagai disambar petir kang Tejo mendengar penjelasan sang bidan, ia langsung jatuh terduduk di depan sang bidan. Ia menangis sejadi-jadinya atas musibah yang baru diterimanya ini. Ia tidak tahu harus bagaimana kelak menjawab pertanyaan anaknya tentang ibunya. Dengan sabar sang bidan menasehati kang Tejo agar ikhlas dan tawakal menghadapi kenyataan ini. Dan memberikan pendidikan kepada anaknya dengan baik.

Akhirnya ia membawa pulang anak dan juga jenazah istrinya pagi itu juga untuk dimakamkan di kampungnya. Setelah selesai pemakaman istrinya, kang Tejo bersumpah dalam hatinya bahwa ia akan membesarkan dan mendidik anaknya dengan tangannya sendiri. Ia tidak ingin mencari pengganti istrinya untuk merawat anak tunggalnya. Karena rasa cinta dan kasih sayang kepada istrinya yang sangat besar, hingga ia berketetapan hati untuk hidup sendiri dengan anaknya dan juga merawat ibunya yang telah lanjut usia. Dengan rasa cinta dan kasih sayang yang sangat besar, ia mendidik anaknya hingga tumbuh menjadi anak yang selalu ceria. Secara rutin ia mengunjungi makam istrinya dengan membawa serta anaknya. Dengan suara berat ia selalu menceritakan perjuangan ibunya ketika melahirkannya ke dunia ini. Selama itu pula anaknya dengan seksama mendengarkan cerita ayahnya dan dengan pelan-pelan tangannya selalu menghapus airmata ayahnya yang jatuh setiap bercerita tentang ibunya. Anaknya sekarang telah tumbuh menjadi remaja yang cerdas, penurut dan sholeh. Ia merasa bangga bisa membesarkan anaknya dengan sangat baik walau tanpa didampingi oleh istri yang seharusnya bisa memberikan kasih sayang kepada anaknya. Apa yang dulu dinasehatkan sang bidan kepadanya ternyata benar bahwa ia hanya perlu mendidik anaknya dengan sabar dan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun